3/11/2008

Menyoal Bisnis Televisi

Menyoal Bisnis Televisi
Sudaryono Achmad )*

Bisnis pertelevisian swasta di tanah air, akhir-akhir ini kian mengkhawatirkan publik. Beberapa stasiun televisi swasta terus bersekutu, bergabung membentuk korporat baru. Tampaknya, fenomena ini kurang mendapatkan perhatian publik, padahal dampak yang ditimbulkan sangat membahayakan bagi kelangsungan diversifikasi dan demokrasi informasi. Kepemilikan pada sekelompok orang tertentu berpengaruh terhadap sentralisasi informasi yang menjadikan publik miskin pilihan atas sebuah tayangan.

Beberapa waktu lalu, elemen masyarakat kritis seperti Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) sudah melayangkan surat somasi kepada pemerintah dan KPI, meminta ketegasan mengenai kepemilikan jamak pada bisnis pertelevisian. Koordinator MPPI, Kukuh Sanyoto, di media (Koran Tempo,12/12/07), mencontohkan, Para Group memiliki dua stasiun televisi di satu provinsi, yakni PT Televisi Transformasi Indonesia (Trans TV) dan PT Duta Visual Nusantara Tivi Tujuh (TV-7). Sedangkan PT Media Nusantara Citra Tbk. (MNC) mengendalikan saham tiga stasiun televisi : PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) dan PT Global Informasi Bermutu (Global-TV) masing-masing 99,99 persen, serta PT Cipta TPI (TPI) 75%. Langkah yang dilakukan MPPI ini menarik untuk meneguhkan wacana kritis membongkar praktek kotor bisnis televisi di negeri ini.

Dampak

Kecenderungan bergabungnya perusahaan pertelevisian ini, tentu sebuah strategi bisnis media. Murni mensiasati problem bisnis industri televisi yang berbiaya besar. Tujuannya sangat jelas, sebuah jalan damai atas kompetisi perindustrian televisi. Membagi kue bisnis yang ada sehingga memuaskan pihak-pihak yang bekerja sama dengan membangun strategi struktur dan manajemen korporasi baru. Hasilnya, kelak industri pertelevisian kita hanya dimiliki oleh sekelompok orang saja. Penguasaan industri televisi pada sekelompok orang saja lewat modus ini perlu dikritisi secara cerdas.

Logika yang dibangun para pemilik media memang masuk akal. Dulu, Ishadi SK (2003), seorang tokoh dalam industri televisi di sebuah seminar pertelevisian pernah memaparkan, manakala media (content provider) semakin banyak, pilihan khalayak juga semakin banyak, sehingga persaingan dalam industri media semakin tajam. Ketika kreativitas untuk mencari celah persaingan sudah semakin sempit, berkembanglah pilihan yang paling sederhana, yaitu mengikuti "mainstrem-me too".

Singkatnya, ketika sebuah tayangan mempunyai rating yang tinggi, beberapa stasiun televisi lainnya rame-rame membuat tayangan yang sama. Dalam hal ini, tidak ada lagi pemikiran untuk menjaga "kode etik", estetika, maupun nilai moral. Yang penting hanyalah memperoleh rating yang tinggi, memenangkan persaingan, mendapatkan penonton yang paling banyak, menjual iklan lebih banyak, dan memperoleh benefit yang tinggi untuk membayar ongkos investasi.

Paparan Ishadi SK ini bisa kita baca sebagai penjelasan bagaimana strategi industri media untuk bisa eksis dan bertahan hidup. Seiring berjalannya waktu, perkembangan terbaru trend bisnis media kini menemukan bentuknya. Jika dulu, beberapa stasiun televisi bersaing ketat dalam program tayangannya. Kini, siasat menggabungkan beberapa stasiun televisi dilakukan. Jelas, kelak semakin homogen tayangan yang disuguhkan. Publik, tidak diberikan pilihan yang beragam, sebab kontrol atas tayangan semakin terpusat. Saat ini, perkembangan terakhir merger, dua stasiun televisi, Indosiar dan SCTV sedang menjajaki kerja sama untuk bergabung.

Memang, ada pendapat normatif yang memandang fenomena ini sebagai sebuah kewajaran. Wajar jika mereka (para pemilik stasiun televisi) bergerak cepat merumuskan strategi bisnisnya untuk mensiasati persaingan antar stasiun yang semakin ketat. Namun, upaya yang melulu hanya berorientasi bisnis semata, tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan, tentu kita tolak. Sudah sekian lama, stasiun televisi swasta begitu pongah membodohi publik, khalayak di tanah air. Sudah saatnya modus ini dihentikan karena bertentangan dengan hak publik mendapatkan informasi yang beragam dan bermutu.

Dampak buruk lain dari adanya merger ini, ketika elit bisnis televisi mulai bersekutu dengan elit kekuasaan. Seorang kritikus media, Noam Chomsky, menyebutnya sebagai konspirasi elit dalam melakukan kontrol pemberitaan dan informasi. Kelak, para penjaga gawang (gatekeepers) media menjadi pion profit-making politisi dan industriawan. Dengan kata lain, politik bisnis media mengatur pemberitaan sesuai keinginan pejabat (atas nama kepentingan bangsa) dan pedagang atas dasar pertumbuhan ekonomi (Septiawan, 2002). Belum lagi akibat buruk bagi wartawan yang bekerja pada industri televisi bersangkutan. Mereka hanya bisa menjadi "buruh" yang harus siap sedia mengabdi pada kepentingan para kapitalis media tersebut tanpa kebebasan dalam hal pemberitaan. Ini ancaman serius bagi kalangan jurnalis.

Kuasa Publik

Upaya penyadaran publik sebenarnya sudah digiatkan beberapa kalangan. Salah satunya oleh LSM Kidia (Kritis! Media untuk Anak) Jakarta. Lembaga ini, beberapa waktu lalu, bertepatan dengan hari anak nasional, mengorganisir sebuah gerakan "Hari Tanpa TV" yang dilaksanakan serentak di beberapa kota; Jakarta, Bandung, Medan, dan Surabaya. Kegiatan ini cukup positif sebagai gerakan moral penyadaran publik dalam rangka mengurangi jam menonton masyarakat, khususnya anak-anak.

Idealnya, upaya penyadaran ini sebenarnya juga perlu tumbuh di kalangan akademis, khususnya yang bernaung di lingkup program studi komunikasi. Kalau boleh jujur, selama ini mereka sering absen memikul tanggung jawab intelektual ini. Boleh dikatakan, para sarjana komunikasi kita mandul. Nyaris, jarang ada kajian berarti dan baru menyangkut isu kritis media. Penelitian-penelitian tentang kajian media lumpuh, terbukti jarang sekali muncul publikasi karya ilmiah yang berbobot dan berguna bagi publik, bahkan jurnal-jurnal ilmiah "mati".

Kenyataan ini merupakan problem fundamental pendidikan yang disebabkan reduksi keilmuwan. Para (calon) sarjana komunikasi yang seharusnya mengawal akal sehat dalam isu cultural studies, di mana kajian media berada di dalamnya, ternyata tak sepenuhnya dilakukan. Hal ini dikarenakan orientasi pendidikan sering terjebak pada orientasi industri. Program sarjana komunikasi yang seharusnya bisa mencetak lulusan menjadi kritikus dan analis media, beralih hanya sekedar diarahkan menjadi buruh industri media, menyediakan tenaga siap pakai dalam bidang media; reporter, humas, fotografer, dan kamerawan.

Padahal, merekalah yang sebenarnya punya beban moral karena latar belakang pendidikan menjadikannya punya otoritas ilmiah mewujudkan tatanan sosial komunikasi menjadi lebih humanis dan berkeadilan. Bisa merumuskan model ideal atas orientasi bisnis media di satu sisi dan budaya pencerahan media di sisi lain. Bukan hanya sekedar menjadi praktisi media an sich yang tidak tanggap atas timpangnya tatanan komunikasi yang merugikan publik.

Membaca kemandulan institusi pendidikan komunikasi ini, secara tidak langsung ikut melanggengkan kuasa media, bukan kuasa publik. Ironis memang, apalagi kalau mau bercermin pada kritik klasik Gabriel Garcia Marquez, seorang jurnalis Kolombia pemenang nobel sastra 1982, bahwa institusi komunikasi lebih banyak mengajarkan banyak hal yang berguna bagi profesi, tapi sedikit sekali mengajarkan mengenai profesi itu sendiri. Untuk itu, dalam upaya merebut kuasa publik, mengembalikan peran intelektual kampus bukan saja penting, tapi mendesak diperlukan.

Terakhir, kolaborasi sinergis antara elemen masyarakat dan elemen kampus sejatinya sangat dibutuhkan saat ini. Memang, sejauh ini, gerakan yang dominan baru sebatas penyadaran yang berbasis pada publik. Kedepan, siasat baru diperlukan. Pengusutan praktek monopoli tersebut harus menjadi prioritas. Institusi otonom pemerintah seperti KPPU (Komisi Pengawasan Persaingan Usaha), sebuah lembaga yang punya otoritas melakukan pengawasan usaha, perlu dilibatkan, didesak untuk menghentikan cara-cara bisnis media yang merugikan publik ini, seperti yang sudah dilakukan dalam kasus Temasek, pemegang saham di operator telekomunikasi seluler Indosat dan Telkomsel.

Selanjutnya, mendesakkan kepada pemerintah untuk menindak tegas praktek monopoli yang didasarkan pada perundang-undangan formal yang berpihak kepada publik. Dengan usaha ini, kita berharap masa depan televisi menjadi institusi yang memberikan inspirasi bagi kemajuan bangsa dalam berbagai bidang. Tayangan yang cerdas, mendidik, berkeadilan, dan berspektif pencerahan, bukan sebaliknya, tayangan "sampah" yang merusak generasi muda bangsa ini.

*) Penulis adalah pemerhati media, aktivis Communicare Institute, Jakarta.

Tidak ada komentar: