3/12/2008

Citicen Journalist

Wartawan Bodrek vs Citizen Journalist
Oleh : Muhibuddin

05-Mar-2008, 22:09:59 WIB - [www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia - Begitu mudahnya sekarang menjadi wartawan. Asal ada kemauan, saat itu juga bisa menyandang profesi wartawan. Apalagi, jika punya kesanggupan berburu berita yang bisa memasok ‘gizi' ke media yang menaunginya. Tak usah menunggu waktu, orang awam pun segera dibikinkan kartu pers untuk modal peliputan berita. Simpel sekali prosedurnya, bukan?

Tapi, tunggu dulu. Tak sembarang media pers segampang itu merekrut wartawan. Media-media besar dan mapan, umumnya sudah menerapkan standar profesional dalam rekruitmen wartawan. Bahkan dalam komunitas media pers kategori ini, untuk menjadi wartawan profesional prosedurnya justru tak kalah ketat dengan seleksi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), misalnya.

Dari gambaran di atas, bisa dimaklumi kalau kemudian dalam dunia pers muncul perbedaan wartawan ke dalam tipologi ‘wartawan beneran' dan ‘wartawan bodrek'. Yang disebut terakhir, tak lain adalah orang-orang yang masuk ke habitat pers tapi sepak terjang jurnalistiknya justru banyak mencemari dunia pers itu sendiri.

Jurnalisme Kartu Pers

Keberadaan wartawan bodrek memang tak bisa dipandang sebelah mata. Sebab, faktanya, mereka juga berkalung kartu pers sebagai bukti fisik identitas diri seorang wartawan. Soal, apakah mereka produktif dalam menghasilkan karya jurnalistik atau tidak, itu menjadi urusan lain. Karena itulah, dari perspektif ini, rasanya sulit mencari alasan untuk tidak mengkategorikan mereka ke dalam komunitas wartawan.

Bondan Winarno pernah mengatakan, dari segi penampilan, tidak ada perbedaan nyata antara wartawan bodrek dengan wartawan beneran. Sebagai wartawan, wawasan mereka memang dangkal, karena tujuan utamanya memang semata bukan untuk kepentingan jurnalistik. Tetapi, tidak jarang dari mereka punya daya intuisi dan investigasi yang tajam (Republika, Minggu 22/5/2005).

Dalam menjalankan misi jurnalistiknya, wartawan bodrek biasanya berlindung di balik kartu pers resmi dari medianya maupun dari beragam organisasi profesi kewartawanan. Karenanya, mereka akhirnya lebih mengedepankan ideologi ‘jurnalisme kartu pers' ketimbang mengaktualisaikan jargon-jargon ideal jurnalism yang menjadi ruh dari media pers.

Di panggung pers nasional, ironi wartawan bodrek sebenarnya bukan cerita baru. Bukankah dari dulu sudah muncul sindiran adanya wartawan tanpa surat kabar (WTS) yang ulahnya seringkali mencemari intitusi pers? Hanya saja, kalau kini keberadaan wartawan bodrek kian menuai sorotan, itu barangkali karena jumlah ‘pasukan' mereka memang kian menjamur.

Diakui atau tidak, wartawan bodrek semakin bertambah subur seiring bergulirnya liberalisasi pers pasca reformasi 1998. Sejak itu, kontrol birokrasi terhadap keberadaan media pers begitu longgar. Dengan demikian, sebuah media pers bisa meluncur begitu saja tanpa harus lewat prosedur yang rumit. Berbarengan dengan itu, siapa pun seolah juga bisa masuk dalam komunitas pers. Siapa pun juga bisa membikin media sekalipun tanpa ditopang sumber dana dan sumberdaya manusia yang punya concern terhadap idealisme pers.

Konsekuensinya, bermunculanlah ‘wartawan karbitan' yang kinerja jurnalistiknya kadang jauh dari cita-cita ideal pers itu sendiri. Jangan heran kalau kemudian muncul media pers yang merekrut jajaran redaksi hingga wartawan secara serampangan. Kartu pers yang seharusnya diterbitkan secara ketat dan selektif, akhirnya ‘diobral' untuk membekali ‘pasukan' yang melakukan tugas jurnalistik di lapangan.

Jadilah, kartu pers menjadi segala-galanya. Status profesi wartawan, akhirnya cukup dilihat dan diukur dari parameter kepemilikan kartu pers. Dalam konteks ini, produktifitas karya jurnalistik menjadi tak begitu urgen. Salah-salah, wartawan yang produktif membuat karya jurnalistik justru dicap sebagai ‘wartawan liar' hanya karena mereka tak berkalung kartu pers.

Padahal, banyak di antara wartawan bodrek berkalung kartu pers yang sesungguhnya produktifitas karya jurnalistiknya masih layak dipertanyakan. Sebaliknya, mereka justru lebih memilih memanfaatkan kartu pers yang dikantonginya untuk kepentingan di luar tugas jurnalistik. Misalnya, kartu pers difungsikan sebagai kartu truf untuk melakukan tindak pemerasan dengan dalih memuat atau tidak memuat sebuah berita. Praktek kotor ala wartawan bodrek agaknya masih menjadi fenomena kelam dalam dunia pers nasional. Itulah sebabnya, kini media-media cetak maupun elektronik terang-terangan mengkomunikasikan ke khalayak bahwa wartawannya ‘diharamkan' menerima sesuatu pemberian dari nara sumber.

Tentu, persoalannya, terlalu naif jika nantinya institusi pers harus kehilangan kepercayaan publik hanya gara-gara merebaknya praktek-praktek kotor sebagaimana yang lazim dimainkan wartawan bodrek.

Citizen Journalist

Kini, jurnalisme era baru tiba. Berita di koran, majalah, radio, maupun televisi, tak lagi milik dan monopoli wartawan. Melalui citizen journalism (jurnalisme warga) yang menjadi genre baru dunia pers, siapapun bisa menjadi wartawan. Sekalipun tak berkalung kartu pers, pewarta warga ini mampu melakukan reportase, investigasi, menulis berita dan menerbitkannya melalui media-media berbasis citizen journalism.

Di dunia maya, citizen journalism sudah jauh berkembang sedemikian pesat. Banyak portal yang kini mengandalkan sajian tulisan, news dan foto-foto dari hasil reportase pewarta warga (citizen journalist).

Selain sebagai pensuplai tulisan, sekaligus, para pewarta warga ini juga berperan menjadi pembaca setia media-media berbasis citizen journalism itu.

Media berbasis warga yang dikelola secara profesional, kenyatannya juga tak kalah gengsi dengan ‘media konvensional' . Sebut saja, situs berbasis citizen journalism yang bermarkas di Seoul Korea Selatan, OhmyNews.com.

Dengan mengandalkan pewarta warga, situs ini telah berkembang pesat dengan 60.000 reporter warga yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Situs berita dan informasi ini dibaca tak kurang sekitar 750.000 pengguna setiap harinya (Pikiran Rakyat, 9/2/2007).

Di Indonesia, citizen journalism juga sudah bermunculan. Sebut saja, situs KabarIndonesia.com yang bermarkas di Netherland, Belanda. Dalam kurun waktu sekitar 15 bulan terakhir, situs yang popular dengan sebutan Harian Online KabarIndonesia (HOKI) itu telah mempunyai sekitar 3.000 reporter warga. Mereka itulah yang selama ini menjadi pensuplai tulisan sekaligus juga jadi pembacanya.

Yang menarik lagi, dalam penerbitan edisi cetak, koran-koran terkemuka nasional kini juga mulai merintis rubrik yang diperuntukkan bagi para citizen journalist. Itu artinya, keberadaan pewarta warga ke depan bisa bertambah menggurita. Nah, jika praktek citizen journalism sudah melembaga, jangan heran seandainya kelak banyak orang tak berkalung kartu pers, tapi mereka bisa menghasilkan karya-karya jurnalistik.

Ini akan berbanding terbalik dengan fenomena ‘wartawan bodrek' yang berkalung kartu pers, tapi mereka miskin karya jurnalistik.

Dalam catatan Nasihin Masha, citizen journalism lahir sebagai sebuah perlawanan. Yakni, perlawanan terhadap hegemoni dalam merumuskan dan memaknai kebenaran. Perlawanan terhadap dominasi informasi oleh elite masyarakat. Akhirnya, perlawanan terhadap tatanan peradaban yang makin impersonal (Republika, Rabu, 7/11/2007).

Tak salah memang. Sebab, media pers yang sering disebut-sebut sebagai pilar keempat demokrasi (fourth estate) setelah eksekutif, yudikatif dan legislatif, realitasnya kadang menampakkan wajah yang jauh dari publik yang jadi penopangnya. Ketika pers sudah melembaga di bawah naungan para pemilik modal, bukan tidak mungkin pers kehilangan ‘daya jotos' dalam menyuarakan aspirasi yang berpihak pada kepentingan publik.

Karena itulah, munculnya citizen journalism menjadi urgen untuk membangkitkan kembali ghiroh pers sebagai penyambung lidah publik yang kadang kerap menjadi korban hegemoni kekuasaan. Sebab, betapapun, merebaknya komunitas citizen journalism adalah sebuah fenomena yang tak bisa dipandang sebelah mata.

3/11/2008

Perjuangan Bagi Radio Komunitas Belum Usai

Perjuangan Bagi Radio Komunitas Belum Usai
Oleh Budhi Hermanto *

Carut-marut dunia penyiaran tak kunjung berakhir, persoalan ini muncul sejak diwacanakannya Undang-undang penyiaran pada tahun 2000-an. Pro dan kontra bermunculan, saling dukung dan sikut antar pemerintah, swasta maupun kalangan masyarakat sipil. Pemerintah berkepentingan mengontrol penyiaran untuk menjaga “stabilitas” politik, juga mengamankan diseminasi informasi kebijakan pemerintah. Bagi industri penyiaran, regulasi penyiaran tidak merusak kepentingan “bisnis” dalam bidang penyiaran. Sedangkan bagi kelompok masyarakat sipil mendorong demokratisasi dunia penyiaran bisa terwujud.

Pergumulan itu semakin menajam dengan disahkannya UU Penyiaran No 32 Tahun 2003, yang kemudian berbuntut pada judicial review terhadap UU tersebut. Hasilnya, regulasi tetap ditangan pemerintah, bukan pada regulator independen seperti yang diharapkan oleh kalangan masyarakat sipil yakni Komisi Penyiaran Indonesia.

Mengiringi disahkannya UU Penyiaran tersebut, Menteri Perhubungan sebagai pejabat yang berwenang mengatur regulasi frekuensi waktu itu menerbitkan Keputusan Menteri No 15 Tahun 2003 tentang Rencana Induk (master plan) Frekuensi Radio Penyelenggaraaan Telekomunikasi Khusus Untuk Siaran Radio FM (Frequency Modulation).

Dalam amar putusannya, Menteri Perhubungan mengklasifikasi keberadaan stasiun radio dalam beberapa kelas. Salah satunya tentang radio komunitas, digolongkan dalam kelas D dengan ERP 50 W, dengan wilayah layanan maksimum 2,5 km dari lokasi stasiun pemancar (KM 15 Pasal 3).

Pemberian kelas pada radio komunitas ini, juga terkesan setengah hati. Dalam pasal 4 KM 15 disebutkan Radio siaran kelas D sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) diperuntukan bagi radio siaran komunitas sepanjang secara teknis memungkinkan. Kalimat “…sepanjang secara teknis memungkinkan” menyiratkan keengganan pemerintah memberikan frekuensi ranah publik kepada masyarakat. Pasal ini dikhawatirkan juga menghambat keberadaan radio komunitas yang dinilai pada saat pengurusan ijin nantinya, tidak memenuhi standar teknis yang disyaratkan.

Dibandingkan dengan lembaga penyiaran lainnya yakni lembaga penyiaran swasta maupun publik, pengklasifikasian ini dinilai oleh kalangan penggiat lembaga penyiaran komunitas (LPK) jauh dari rasa keadilan. Radio swasta/public (RRI) boleh menggunakan daya hingga 63 kW, sementara radio komunitas hanya “50 watt”, perbandingan yang sangat jauh bak bumi dengan langit.

Persoalan lain yang muncul adalah, pembagian alokasi frekuensi (kanal) yang juga tidak berpihak pada keberadaan radio komunitas. Oleh pemerintah, radio komunitas hanya bisa menempati kanal yang telah ditentukan, yakni kanal 201, 202 dan 203 atau 107,7 Mhz, 107,8 Mhz dan 107,9 Mhz. Dibanding alokasi frekuensi bagi lembaga penyiaran swasta maupun publik, alokasi frekuensi ini juga jauh dari rasa keadilan. Radio komunitas hanya diberi 3 “kamar” itupun berada dipinggiran.

KM Menhub No 15 Thn 2003 sekarang telah lebih dikuatkan melalui Peraturan Pemerintah No 51 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Komunitas. Jika dulu, KM 15 diterbitkan oleh Departemen Perhubungan, kelahiran PP 51 Th 2005 didorong oleh Depkominfo sebagai departemen yang berwenang pada soal regulasi frekuensi radio.

Isu Strategis

Dalam melakukan kerja advokasi, tidak terlepas dari agenda/isu yang diusung. Wacana terkait dengan penyiaran banyak sekali isu yang diangkat, sebagaimana dulu ketika banyak aktivis penyiaran melakukan advokasi terhadap UU Penyiaran maupun pengkritisan terhadap usulan PP Penyiaran.

Namun kali ini, agenda advokasi perlu difokuskan. Usulan perubahan dalam KM 15 dan juga PP 51 yang perlu diperjuangkan cukup terkait dengan hal teknis bagi lembaga penyiaran komunitas. Advokasi baiknya difokuskan pada; 1) alokasi frekuensi, 2) klasifikasi radio komunitas dan layanan jangkauan siaran serta, 3) standarisasi peralatan bagi radio komunitas.

Aspek lainnya tentu juga penting untuk diperjuangkan, misalnya soal aksi sweaping terhadap keberadan rakom, proses penindakan hokum yang tidak trasparan (kasus Papua), prosedur perijinan dll. Usulan ini hanya besifat skala prioritas. Karena jika ia bisa diperjuangan cukup membantu keberadaan radio komunitas yang kian berjamuran tumbuh seantero negeri ini. Setidaknya radio komunitas mendapatkan hak yang layak pada soal alokasi frekuensi dan daya jangkau siaran.

Strategi

Terkait dengan uraian di atas, perlu kiranya para aktivis lembaga penyiaran komunitas (khususnya radio) segera melakukan kajian mendalam secara kritis-analisis terhadap KM Menteri Perhubungan No 15 tahun 2003 khususnya pada aspek teknis dan alokasi frekuensi dan mendorong pemerintah untuk merubah Keputusan Menteri

Perhubungan No 15 Thn 2005 dan juga PP No 51 Tahun 2005. Hasil yang diharapkan dari proses ini adalah naskah akademik hasil analisa kajian terhadap KM Menhub No 15 Thn 2003 dan PP 51 Thn 2005. Selain tentu draft usulan perubahan KM dan PP tersebut.

Para penggiat radio komunitas, perlu memetakan pihak-pihak yang bisa membantu memperkuat “naskah akademik” yang disusun. Misalnya kalangan kampus/lembaga pendidikan, lembaga riset dan kalangan organisasi masyarakat sipil (NGO) maupun Komisi Penyiaran Indonesia. Kepada mereka, diharapkan bisa memberikan kontribusi bagi perubahan KM 15 maupun PP 51.

Langkah berikutnya yang tak kalah penting adalah melakukan dialog dan loby tehadap kalangan pemerintah (Depkominfo dan DPR) dan menyampaikan usulan perubahan atas regulasi penyiaran tersebut. Proses ini harus dikawal dengan ketat, termonitor dan kemudian disampaikan pada para pihak yang membantu proses advokasi, agar semua pihak tahu dan ikut membantu jalannya proses advokasi yang sedang dilakukan. Persoalan bahwa, apakah nantinya pemerintah benar-benar mau merubah regulasi itu atau tidak, itu soal kemudian. Setidaknya perjuangan ini belum terhenti.


)* Koordinator Jaringan Radio Komunitas Jawa Tengah

Televisi Komunitas Sebagai Media Alternatif

Televisi Komunitas; Sebagai Media Alternatif
oleh Budhi Hermanto

Saat ini muncul geliat baru dalam dunia media, khususnya media televisi di Indonesia. Sejumlah televisi berbasis komunitas bermunculan sebagai media dari oleh, dan untuk warga komunitas itu sendiri. Ditengah gemerlapnya siaran televisi swasta yang menyuguhkan berbagai program hiburan, kehadiran televisi komunitas menjadi warna tersendiri yang menarik untuk dicermati.

Grabag TV misalnya, televisi komunitas ini berada Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah. Televisi yang memancar dengan daya hanya 50 watt, dan hanya menjangkau radius 7 km ternyata mendapat tempat dimata pemirsa televisi di Kecamatan tersebut. Kendati hanya mengudara 3 jam per hari, Grabag TV tetap menyuguhkan tayangan yang berbeda dengan siaran televisi lain.

Tayangan siaran Grabag TV tidak seperti tayangan siaran televisi swasta di Indonesia. Di Grabag TV tidak ada acara gosip atau info selebriti, sinetron yang menyuguhkan konflik perebutan harta, kekuasaan dan cinta, dan siaran lainya sebagaimana dinikmati pemerisa televisi swasta sehari-hari.

"Jika kami menyuguhkan tayangan yang serupa, apalagi meniru siaran televisi swasta tentu tidak ada yang menonton. Karena kualitas gambar siaran televisi swasta pasti lebih baik dibanding siaran kami." papar Hartanto selaku pelopor Grabag TV.

Menurut Hartanto, televisi komunitas hadir sebagai media pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Melalui televisi komunitas, warga bisa menyuarakan aspirasi mereka. Jika selama ini masyarakat hanya menjadi penonton, melalui televisi komunitas mereka bisa berperan sebagai pembawa acara, pemain/aktor, bahkan menjadi sutradara.

"Tidak ada kualifikasi dan persyaratan khusus seperti layaknya yang terjadi di televisi lain. Disini (TV Komunitas. Red), tidak perlu persyaratan camera face, berpenampilan dan bersuara menarik. Ini TV warga, siapapun punya kesempatan untuk tampil di televisi." lanjut Hartanto menegaskan.

Akibatnya tayangan televisi komunitas terlihat sangat natural, apa adanya. Keterbatasan peralatan tidak menyurutkan para pegiat televisi komunitas di Grabag untuk menyuguhkan tayangan alternatif bagi pemirsanya. Dalam sebuah rekaman tayangan terlihat seorang kameramen merangkap reporter sedang melakukan wawancara dengan seorang petani. Berbekal camera handycam seharga 2 juta dibantu tripod seharga 100 ribu, kameramen yang merangkap reporter sedang melaporkan reportasenya. Sejenak kemudian ia berhenti dan mendekat ke camera dan merubah medium sorotan kamera menjadi long shoot agar petani yang berdiri disampingnya masuk dalam sorotan kamera. Ia kemudian melanjutkan reportasenya dengan melakukan wawancara terhadap petani.

Sungguh menggelikan sekaligus menghibur karena ditayangkan melalui televisi tanpa proses editing, penampilan reporter yang sederhana dan si petani yang sesekali terlihat melirik ke kamera. Namun yang tak kalah penting adalah, isi pembicaraan (content) tentang musim, harga pupuk, hingga komoditas pertanian yang menjadi pilihan.

Itulah televisi komunitas, isi acara program siaran tentang keseharian warga. Jauh dari tayangan glamour yang menggambarkan ruangan berkelas, rumah mewah, mobil terbaru, dan produk-produk kosumtif yang sedang trendy. Televisi komunitas tidak mempunyai studio siaran. Alam dan lingkunganlah yang menjadi studio mereka. Bahkan wajah reporter maupaun pemain tanpa make up, sehingga terlihat berkilau akibat keringat yang membasahi jidat dan wajah mereka.

Sebagi media hiburan, tayangan televisi komunitas menyuguhkan tayangan kesenian tradisional yang pemainnya warga setempat. Sesekali menayangkan video klip lagu-lagu daerah dengan gaya dan acting seperti tahun 80-an, dimana penyanyi dan bintang video klipnya juga warga setempat. Menakjubkan.

Televisi Komunitas ternyata didirikan dengan biaya yang murah dan bersumber dari warga komunitasnya. Pemancar televisi ini mengudara pada gelombang VHF dengan daya pancar 50 watt. Biaya pembuatan pemancar berkisar 10-15 juta termasuk antena. 1 unit komputer editing seharga 4 juta, dan 1 buah kamera handycam untuk produksi. Jika hendak melakukan produksi multi kamera maka diperlukan digital video switcher seharga 8 juta-an. Sehingga dengan biaya 30 juta sudah bisa mengudara. Apabila mampu mengajak partisipasi warga dengan baik, maka biaya akan menjadi lebih murah. Grabag TV menjadi salah satu contoh, dimana kebutuhan kamera handycam berasala dari sumbangan warganya sendiri.

Keberadaan televisi komunitas seperti di Grabag, Magelang ini menjadi sebuah terobosan pemanfaatan media di Indonesia. Jika selama ini, tayangan televisi dianggap tidak mendidik karena menyuguhkan tayangan-tayangan yang tidak bermutu, hanya berorentasi komersial dan menjerumuskan penonton menjadi konsumtif, kehadiran televisi komunitas menjadi alternatif yang perlu mendapat dukungan dan apresiasi.

Dalam sebuah pertemuan para aktivis penyiaran dan pengiat media komunitas di Jogyakarta pada bulan Desember 2007 lalu, menegaskan bahwa keberadaan televisi komunitas adalah pengejawatahan dari demokratisasi penyiaran di Indonesia. Tidak ada monopoli kepemilikan dalam media televisi karena televisi komunitas itu adalah milik warga (diversity of ownership), sekaligus akan mendorong keberagaman isi siaran (diversity of content).




Menyoal Bisnis Televisi

Menyoal Bisnis Televisi
Sudaryono Achmad )*

Bisnis pertelevisian swasta di tanah air, akhir-akhir ini kian mengkhawatirkan publik. Beberapa stasiun televisi swasta terus bersekutu, bergabung membentuk korporat baru. Tampaknya, fenomena ini kurang mendapatkan perhatian publik, padahal dampak yang ditimbulkan sangat membahayakan bagi kelangsungan diversifikasi dan demokrasi informasi. Kepemilikan pada sekelompok orang tertentu berpengaruh terhadap sentralisasi informasi yang menjadikan publik miskin pilihan atas sebuah tayangan.

Beberapa waktu lalu, elemen masyarakat kritis seperti Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) sudah melayangkan surat somasi kepada pemerintah dan KPI, meminta ketegasan mengenai kepemilikan jamak pada bisnis pertelevisian. Koordinator MPPI, Kukuh Sanyoto, di media (Koran Tempo,12/12/07), mencontohkan, Para Group memiliki dua stasiun televisi di satu provinsi, yakni PT Televisi Transformasi Indonesia (Trans TV) dan PT Duta Visual Nusantara Tivi Tujuh (TV-7). Sedangkan PT Media Nusantara Citra Tbk. (MNC) mengendalikan saham tiga stasiun televisi : PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) dan PT Global Informasi Bermutu (Global-TV) masing-masing 99,99 persen, serta PT Cipta TPI (TPI) 75%. Langkah yang dilakukan MPPI ini menarik untuk meneguhkan wacana kritis membongkar praktek kotor bisnis televisi di negeri ini.

Dampak

Kecenderungan bergabungnya perusahaan pertelevisian ini, tentu sebuah strategi bisnis media. Murni mensiasati problem bisnis industri televisi yang berbiaya besar. Tujuannya sangat jelas, sebuah jalan damai atas kompetisi perindustrian televisi. Membagi kue bisnis yang ada sehingga memuaskan pihak-pihak yang bekerja sama dengan membangun strategi struktur dan manajemen korporasi baru. Hasilnya, kelak industri pertelevisian kita hanya dimiliki oleh sekelompok orang saja. Penguasaan industri televisi pada sekelompok orang saja lewat modus ini perlu dikritisi secara cerdas.

Logika yang dibangun para pemilik media memang masuk akal. Dulu, Ishadi SK (2003), seorang tokoh dalam industri televisi di sebuah seminar pertelevisian pernah memaparkan, manakala media (content provider) semakin banyak, pilihan khalayak juga semakin banyak, sehingga persaingan dalam industri media semakin tajam. Ketika kreativitas untuk mencari celah persaingan sudah semakin sempit, berkembanglah pilihan yang paling sederhana, yaitu mengikuti "mainstrem-me too".

Singkatnya, ketika sebuah tayangan mempunyai rating yang tinggi, beberapa stasiun televisi lainnya rame-rame membuat tayangan yang sama. Dalam hal ini, tidak ada lagi pemikiran untuk menjaga "kode etik", estetika, maupun nilai moral. Yang penting hanyalah memperoleh rating yang tinggi, memenangkan persaingan, mendapatkan penonton yang paling banyak, menjual iklan lebih banyak, dan memperoleh benefit yang tinggi untuk membayar ongkos investasi.

Paparan Ishadi SK ini bisa kita baca sebagai penjelasan bagaimana strategi industri media untuk bisa eksis dan bertahan hidup. Seiring berjalannya waktu, perkembangan terbaru trend bisnis media kini menemukan bentuknya. Jika dulu, beberapa stasiun televisi bersaing ketat dalam program tayangannya. Kini, siasat menggabungkan beberapa stasiun televisi dilakukan. Jelas, kelak semakin homogen tayangan yang disuguhkan. Publik, tidak diberikan pilihan yang beragam, sebab kontrol atas tayangan semakin terpusat. Saat ini, perkembangan terakhir merger, dua stasiun televisi, Indosiar dan SCTV sedang menjajaki kerja sama untuk bergabung.

Memang, ada pendapat normatif yang memandang fenomena ini sebagai sebuah kewajaran. Wajar jika mereka (para pemilik stasiun televisi) bergerak cepat merumuskan strategi bisnisnya untuk mensiasati persaingan antar stasiun yang semakin ketat. Namun, upaya yang melulu hanya berorientasi bisnis semata, tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan, tentu kita tolak. Sudah sekian lama, stasiun televisi swasta begitu pongah membodohi publik, khalayak di tanah air. Sudah saatnya modus ini dihentikan karena bertentangan dengan hak publik mendapatkan informasi yang beragam dan bermutu.

Dampak buruk lain dari adanya merger ini, ketika elit bisnis televisi mulai bersekutu dengan elit kekuasaan. Seorang kritikus media, Noam Chomsky, menyebutnya sebagai konspirasi elit dalam melakukan kontrol pemberitaan dan informasi. Kelak, para penjaga gawang (gatekeepers) media menjadi pion profit-making politisi dan industriawan. Dengan kata lain, politik bisnis media mengatur pemberitaan sesuai keinginan pejabat (atas nama kepentingan bangsa) dan pedagang atas dasar pertumbuhan ekonomi (Septiawan, 2002). Belum lagi akibat buruk bagi wartawan yang bekerja pada industri televisi bersangkutan. Mereka hanya bisa menjadi "buruh" yang harus siap sedia mengabdi pada kepentingan para kapitalis media tersebut tanpa kebebasan dalam hal pemberitaan. Ini ancaman serius bagi kalangan jurnalis.

Kuasa Publik

Upaya penyadaran publik sebenarnya sudah digiatkan beberapa kalangan. Salah satunya oleh LSM Kidia (Kritis! Media untuk Anak) Jakarta. Lembaga ini, beberapa waktu lalu, bertepatan dengan hari anak nasional, mengorganisir sebuah gerakan "Hari Tanpa TV" yang dilaksanakan serentak di beberapa kota; Jakarta, Bandung, Medan, dan Surabaya. Kegiatan ini cukup positif sebagai gerakan moral penyadaran publik dalam rangka mengurangi jam menonton masyarakat, khususnya anak-anak.

Idealnya, upaya penyadaran ini sebenarnya juga perlu tumbuh di kalangan akademis, khususnya yang bernaung di lingkup program studi komunikasi. Kalau boleh jujur, selama ini mereka sering absen memikul tanggung jawab intelektual ini. Boleh dikatakan, para sarjana komunikasi kita mandul. Nyaris, jarang ada kajian berarti dan baru menyangkut isu kritis media. Penelitian-penelitian tentang kajian media lumpuh, terbukti jarang sekali muncul publikasi karya ilmiah yang berbobot dan berguna bagi publik, bahkan jurnal-jurnal ilmiah "mati".

Kenyataan ini merupakan problem fundamental pendidikan yang disebabkan reduksi keilmuwan. Para (calon) sarjana komunikasi yang seharusnya mengawal akal sehat dalam isu cultural studies, di mana kajian media berada di dalamnya, ternyata tak sepenuhnya dilakukan. Hal ini dikarenakan orientasi pendidikan sering terjebak pada orientasi industri. Program sarjana komunikasi yang seharusnya bisa mencetak lulusan menjadi kritikus dan analis media, beralih hanya sekedar diarahkan menjadi buruh industri media, menyediakan tenaga siap pakai dalam bidang media; reporter, humas, fotografer, dan kamerawan.

Padahal, merekalah yang sebenarnya punya beban moral karena latar belakang pendidikan menjadikannya punya otoritas ilmiah mewujudkan tatanan sosial komunikasi menjadi lebih humanis dan berkeadilan. Bisa merumuskan model ideal atas orientasi bisnis media di satu sisi dan budaya pencerahan media di sisi lain. Bukan hanya sekedar menjadi praktisi media an sich yang tidak tanggap atas timpangnya tatanan komunikasi yang merugikan publik.

Membaca kemandulan institusi pendidikan komunikasi ini, secara tidak langsung ikut melanggengkan kuasa media, bukan kuasa publik. Ironis memang, apalagi kalau mau bercermin pada kritik klasik Gabriel Garcia Marquez, seorang jurnalis Kolombia pemenang nobel sastra 1982, bahwa institusi komunikasi lebih banyak mengajarkan banyak hal yang berguna bagi profesi, tapi sedikit sekali mengajarkan mengenai profesi itu sendiri. Untuk itu, dalam upaya merebut kuasa publik, mengembalikan peran intelektual kampus bukan saja penting, tapi mendesak diperlukan.

Terakhir, kolaborasi sinergis antara elemen masyarakat dan elemen kampus sejatinya sangat dibutuhkan saat ini. Memang, sejauh ini, gerakan yang dominan baru sebatas penyadaran yang berbasis pada publik. Kedepan, siasat baru diperlukan. Pengusutan praktek monopoli tersebut harus menjadi prioritas. Institusi otonom pemerintah seperti KPPU (Komisi Pengawasan Persaingan Usaha), sebuah lembaga yang punya otoritas melakukan pengawasan usaha, perlu dilibatkan, didesak untuk menghentikan cara-cara bisnis media yang merugikan publik ini, seperti yang sudah dilakukan dalam kasus Temasek, pemegang saham di operator telekomunikasi seluler Indosat dan Telkomsel.

Selanjutnya, mendesakkan kepada pemerintah untuk menindak tegas praktek monopoli yang didasarkan pada perundang-undangan formal yang berpihak kepada publik. Dengan usaha ini, kita berharap masa depan televisi menjadi institusi yang memberikan inspirasi bagi kemajuan bangsa dalam berbagai bidang. Tayangan yang cerdas, mendidik, berkeadilan, dan berspektif pencerahan, bukan sebaliknya, tayangan "sampah" yang merusak generasi muda bangsa ini.

*) Penulis adalah pemerhati media, aktivis Communicare Institute, Jakarta.

Demokrasi Media

Demokrasi Media
Ignatius Haryanto *)

Pengantar

Indonesia di bawah kepemimpinan Suharto dan Orde Baru adalah kisah represi politik terhadap industri media yang terus berlangsung sejak awal masa Orde Baru hingga pada hari-hari terakhir kekuasaan Orde Baru. Lebih dari tujuh puluh suratkabar dan majalah pernah mengalami masa pembredelan dalam 33 tahun kepemimpinan Orde Baru dan selama masa itu pun, hampir lebih dari 20 tahun masa Orde Baru, televisi dikuasai oleh Negara, dan radio pun mengalami pembatasan untuk tidak boleh menyiarkan berita sendiri. Mereka hanya boleh menyiarkan berita yang telah dibuat oleh stasiun Radio milik negara (Sen & Hill, 2001)

Faktor modal baru menjadi cukup signifikan dalam industri media di Indonesia ketika pada pertengahan tahun 1980-an, muncul beberapa kelompok industri media yang perlahan-lahan membangun kerajaannya untuk menguasai seluruh Indonesia seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada masa Orde Baru. Ada beberapa penjelasan structural untuk itu, misalnya sejak ditutupnya iklan di televisi (Kitley 2001, Dhakidae 1991) maka limpahan iklan tersebut dinikmati oleh industri media cetak, dan memungkinkan mereka mendapatkan pendapatan yang cukup besar. Di luar itu membesarnya kerajaan media seperti Kompas, Tempo, Media Indonesia dan Jawa Pos, juga dikarenakan misalnya Kompas menyiapkan strategi untuk bersiap-siap jikalau Kompas dibredel oleh pemerintah (Ishwara 2001, Dhakidae 1991), atau Media Indonesia mengembangkan kerajaannya ke daerah-daerah karena hendak membantu perkembangan pers daerah (Hisyam 2001), sementara itu Jawa Pos berkembang makin membesar dan memiliki lebih dari 100 suratkabar sampai akhir tahun 2001 (lihat terbitan khusus Koran Kita dalam Jawa Pos edisi 1 Januari 2000)

Namun setelah akhir 1980-an muncul deregulasi yang memberi peluang atas munculnya industri televisi swasta, maka kue iklan yang selama ini dinikmati oleh industri media cetak, perlahan-lahan direbut oleh industri televisi sehingga perimbangannya menjadi bergeser. Dan pada saat sama, industri radio pun mulai menjadi media yang menarik, karena ia bukan lagi semata-mata hiburan, tapi juga media informasi.

Apa yang hendak ditunjukkan dalam paper ini adalah, bahwa kontrol ketat negara yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru, perlahan-lahan dilawan oleh kekuatan modal, dan hal ini menjadi paradoks terutama karena kekuatan modal yang tadinya selektif hanya diberikan kepada kelompok kroni Orde Baru, perlahan-lahan justru menggerus wibawa yang dipertahankan oleh Orde Baru (Hidayat 2000). Televisi dan radio swasta perlahan-lahan menjadi berani untuk menampilkan acara yang kritis terhadap pemerintah. Beberapa acara televisi kemudian sempat dilarang siaran kembali, seperti kasus acara Perspektif yang dipimpin oleh Wimar Witoelar. Perspektif disiarkan lewat stasiun televisi SCTV, yang dimiliki oleh ipar Soeharto, stasiun televisi swasta kedua di Indonesia.

Benih dari pertikaian antara kekuasaan Negara dan kekuasaan modal sebenarnya bisa juga dilihat tarik ulur yang terjadi di kalangan birokrasi, hanya beberapa minggu sebelum terjadinya pembredelan tiga mingguan di Jakarta, Tempo, Detik dan Editor. Hanya beberapa minggu sebelum terjadinya pembredelan, pihak menteri negara investasi dan menteri penerangan bersilang pendapat soal investasi asing dalam industri media di Indonesia. Sebagai bagian dari program deregulasi sejumlah kebijakan investasi, maka pemerintah mengajukan sejumlah sektor baru yang dibuka untuk investasi asing, dan kementerian investasi memasukkan industri media massa sebagai salah satu tujuan yang bisa dimasuki investasi asing. Belum lagi keputusan itu dijalankan, langsung muncul reaksi keras dari menteri penerangan yang menolak masuknya modal asing dalam industri media. Alasan yang digunakan saat itu adalah soal nasionalisme ekonomi, dan idealisme pers. Namun sesungguhnya alasan ini hanyalah sekedar untuk menutupi alasan sesungguhnya bahwa jika investasi asing masuk dalam sektor media massa, maka pemerintah akan kehilangan kontrolnya yang paling besar terhadap isi (content) dari industri media tersebut, suatu privilege yang berpuluh tahun mereka miliki untuk mengontrol kehidupan industri media di Indonesia.

Kekuatan modal pada tahun-tahun terakhir kekuasaan Orde Baru menunjuk pada situasi dimana industri media di Indonesia ada dalam tarik menarik keras antara Istana dan Pasar (Palace and Market) karena pada dasarnya bentuk pemerintahan Orde Baru adalah pemerintahan yang kapitalis represif (Hidayat 2000), yaitu kapitalisme dalam industri media yang dilakukan secara selektif, sembari tetap mengontrol isi dari media karena isi media sangat berpengaruh terhadap pembentukan citra Negara.

Segera setelah kekuatan modal terbentuk, perlahan-lahan kewibawaan Negara mulai runtuh dan kekuatan baru yang mengontrol industri media adalah kekuatan modal. Dan menjadi makin jelas, ketika masa transisi politik, negara menunjukkan sikap untuk melonggarkan kontrol terhadap media, dan melakukan sejumlah deregulasi dalam bidang media cetak, radio, dan televisi yang dilakukan oleh Menteri Yunus Yosfiah. Segera setelah deregulasi dilakukan, maka ratusan hingga ribuan surat ijin dikeluarkan, padahal pada masa sebelumnya jumlah penerbitan di seluruh Indonesia hanya mencapai 300 buah. Radio swasta kini diperbolehkan memproduksi siaran beritanya sendiri, terlepas dari kewajiban untuk relai kepada Radio Republik Indonesia (RRI), dan Menteri Yosfiah pun memberikan ijin siaran kepada sejumlah televisi swasta lain. Hasilnya pada akhir tahun 2001, ada 9 stasiun televisi swasta, dan juga sejumlah televisi yang bersiaran dalam skop yang lebih terbatas.

Bahkan Menteri yang sama pun memberlakukan UU Pers yang baru (disahkan sebagai UU no.40/1999) menggantikan UU Pers sebelumnya (yaitu UU no. 21/1982). Berbeda dengan UU Pers yang lama, UU yang baru memberikan jaminan yang lebih besar atas kebebasan pers, seperti ketentuan yang tidak mengharuskan adanya Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), tidak mengenal adanya pencabutan SIUPP, dan mengijinkan masuknya modal asing dalam industri media. Bahkan Menteri ini pun memecah monopoli organisasi kewartawanan yang selama ini dilakukan oleh PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan mengakui sejumlah organisasi kewartawanan lain seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan kelompok-kelompok lainnya. Lebih maju lagi, Menteri ini bahkan menyarankan agar Departemen Penerangan, yang selama ini menjadi aparat ideology, ekonomi dan politik negara (istilah Dhakidae), dibubarkan saja.

Dan benar, pada pembentukan kabinet di bawah presiden Abdurrachman Wahid, Departemen Penerangan dibubarkan. Presiden Wahid kala itu mengatakan bahwa urusan komunikasi dalam masyarakat biarlah ditentukan oleh masyarakat sendiri, tidak oleh pemerintah. Sejak masa itu maka Negara kelihatan tidak lagi mengekang industri media, setidaknya untuk sementara ini. Sejumlah kalangan, terutama dari kalangan industriawan media, kelompok professional wartawan dan para pekerja media, merasa lega bahwa mereka berhasil menumpulkan pedang Democles yang selama ini dimiliki oleh Departemen Penerangan. Tiga puluh tahun di bawah bayang-bayang ketakutan, akhirnya bisa sirna.

Kondisi ini membuat kontrol negara mencapai titik terendah, atau seperti yang dikemukakan oleh Ariel Heryanto dan Stanley, negara ada dalam situasi :

The state has clearly lost once and for all the old paternalistic and monopolistic control of the mass production and mass circulation of words and images across the nation. While the state continues to retain some power in regulation and licencing, it has to share, negotiate, and compete with new forces in calling the shots in mass media developments. (garis miring dari penulis)

Dalam kondisi yang baru, memang negara lalu harus melakukan negosiasi dengan kelompok-kelompok baru untuk bisa melakukan pengaturan kebijakan dan pemberian ijin. Kekuatan negara menjadi sangat lemah jika dibandingkan pada masa Orde Baru dimana negara menjadi penentu mati hidupnya industri media.

Dalam era yang sedang berubah tersebut muncul banyak fenomena baru dalam industri media di Indonesia, misalnya kemunculan sejumlah franchise media yang beredar dalam pasar media cetak - hal yang terlarang di masa Orde Baru – sejumlah kelompok media memperluas jaringan media mereka ke daerah-daerah, muncul suratkabar dan majalah baru, dan lain-lain.

Dalam situasi yang penuh kebebasan seperti ini, pengaturan masalah penyiaran dilakukan. UU Penyiaran disahkan pada tahun 1997 dengan memberikan waktu selama lima tahun untuk pelaksanaannya. Namun belum sampai lima tahun UU Penyiaran berlaku efektif, namun UU ini segera diusulkan untuk direvisi. Alasan utama yang berkembang saat itu adalah UU Penyiaran adalah produk Orde Baru sehingga harus diganti, karena sejumlah paradigma yang ada justru mengekang media. Dapat juga ditambahkan di sini bahwa setelah para kelompok advokasi media berhasil menggolkan pengesahan UU Pers yang lebih liberal, ada muncul semacam perasaan bahwa perluasan kebebasan pers juga bisa diterapkan dalam konteks industri penyiaran.

Di sini akan dipersoalkan, untuk siapa sesungguhnya perjuangan untuk revisi UU Penyiaran itu dilakukan? Apakah betul untuk kepentingan masyarakat, ataukah untuk kepentingan ekpansi modal? Lalu bagaimana peran yang harusnya dilakukan pemerintah dalam situasi yang berubah ini? Lalu bagaimana harus melindungi kepentingan masyarakat dalam berhadapan dengan kepentingan modal?


Table kepemilikan media oleh grup Jawa Pos, Kompas, Media Indonesia

Nama Grup Media Jumlah penerbitan dan media lain sebelum 1998 Jumlah penerbitan dan media lain sesudah 1998 (perhitungan tahun 2001) 1 Jawa Pos Group 107 suratkabar, tabloid, perusahaan percetakan, stasiun televisi 2 Kompas Gramedia Group 50 suratkabar, majalah, tabloid, hotel, percetakan, 5 penerbit buku, distributor, jaringan toko buku, dll. 3 Media Indonesia Group 4 suratkabar, stasiun televisi, hotel, percetakan Sumber: Laporan tahunan AJI/LSPP 1995 dan 2001


UU Penyiaran: Siapa yang berkepentingan dan apa kepentingannya?(whose interests and what interests?

UU Penyiaran yang pertama telah disahkan pada akhir September 1997. Ketika itu UU Penyiaran masih berada dalam masa pemerintahan Presiden Soeharto. Namun belum sempat Undang-undang ini berlaku efektif (membutuhkan waktu 2 tahun untuk membuatnya efektif berjalan), pemerintahan Soeharto keburu jatuh dan kemudian banyak tuntutan agar UU Penyiaran direvisi.

Ada banyak masalah yang mendapat tanggapan dari kalangan media terhadap UU Penyiaran pertama tersebut, di antaranya adalah peran dominan negara dalam menentukan arah kebijakan penyiaran di Indonesia, belum lagi dengan peran yang diberikan kepada penyiaran agar bisa “menumbuhkan dan mengembangkan sikap mental masyarakat Indonesia yang beriman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun masyarakat adil dan makmur” (pasal 4 UU Penyiaran 1997).

Selain itu penyiaran diharapkan untuk bisa “penyaluran pendapat umum yang konstruktif”, lalu “meningkatkan budaya bangsa”, “meningkatkan kemampuan perekonomian nasional untuk mewujudkan pemerataan dan memperkuat daya saing”, serta “meningkatkan stabilitas nasional yang mantap dan dinamis”. Seluruh jargon yang dikemukakan di sini adalah inti dari strategi kebudayaan, ekonomi dan politik dimana Orde Baru mengabdi padanya. Tentu saja kebijakan macam inilah yang ditujukan tak hanya pada industri penyiaran tapi juga industri media cetak yang telah lebih dulu mengalami berbagai represi.

Peran dominan negara juga di sini ditunjukkan lewat konsep kelembagaan bernama Badan Pertimbangan dan Pengendalian Penyiaran Nasional (BP3N) yang merupakan “lembaga nonstructural yang merupakan wadah kerjasama sebagai wujud interaksi positif antara penyelenggara penyiaran, pemerintah dan masyarakat dalam membina pertumbuhan dan perkembangan penyiaran nasional” (pasal 1).

Soal kepemilikan silang dalam industri media, sudah diatur dalam UU Penyiaran 1997 ini lewat peraturan bahwa: “Pemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta, baik yang mengarah pada pemusatan di satu orang atau di satu badan hokum maupun yang mengarah pada pemusatan di satu tempat atau di satu wilayah, dilarang.” (pasal 13 ayat 1) Selain juga diatur bahwa “Kepemilikan silang antara Lembaga Penyiaran Swasta dengan perusahaan media cetak dan antara Lembaga Penyiaran Swasta dengan Lembaga Penyiaran Khusus, baik langsung maupun tidak langsung, dibatasi.” (pasal 13 ayat 2).

Sebelum UU ini berlaku efektif, kemudian pergantian kekuasaan membuat UU ini menjadi mandul. Dalam masa pemerintahan Habibie (Mei 1998 - Oktober 1999) UU Penyiaran ini tak banyak disinggung-singgung. Baru setelah para penyokong kebebasan pers berhasil mendesak pemerintah untuk memberikan jaminan atas kebebasan pers, maka diskusi tentang nasib UU Penyiaran mulai kembali diperhatikan. Ketika UU ini disahkan pada tahun 1997, nyaris tak ada perlawanan yang besar dari kalangan industri media, karena Negara masih mendominasi kegiatan industri media, lewat perijinan, sensor dan alat represi lain. Namun setelah melihat bahwa Pers bisa menghasilkan UU yang lebih liberal, maka sejumlah pejuang kebebasan pers berharap situasi yang sama akan juga terjadi dalam UU Penyiaran yang mendatang.

Sejak saat itu barulah terjadi usaha-usaha untuk merevisi UU Penyiaran, terutama karena posisi dominan Negara hendak dipatahkan, dan lebih memberikan jaminan atas kebebasan menjalankan aktivitasnya.

Namun justru dalam situasi yang transisi ini maka ada banyak kepentingan yang saling berjalin di situ dan perlu kehati-hatian dalam menangkap berbagai kepentingan yang saling bekerjasama di dalamnya. Dalam kasus revisi UU Penyiaran ini, akan terlihat berbagai interests yang saling berbeda, ingin mempengaruhi munculnya UU Penyiaran yang baru, mulai dari kepentingan yang hendak melindungi kepentingan publik dari siaran televisi, kepentingan yang membela ide kebebasan pers, kepentingan dari kalangan pengusaha media, dan kepentingan yang hendak mempertahankan dominasi negara dalam pengaturan soal penyiaran. Namun anehnya, kepentingan yang mencoba untuk bersikap kritis terhadap kepentingan modal tak banyak mencuat, bahkan ada kesan bahwa kekuatan kapital atau modal dianggap bisa menandingi kekuatan negara, dan dengan demikian kekuatan modal bisa bertindak secara lebih demokratis. Dalam kenyataannya tidak otomatis kekuatan modal akan bertindak lebih demokratis dan akan memberikan perlindungan kepada kepentingan konsumen atau masyarakat luas, ataupun membela kepentingan buruh dalam industri media itu sendiri. Namun rupanya dua hal ini dilupakan oleh banyak pihak ketika membahas soal revisi UU Penyiaran tersebut.

Ada beberapa kelompok yang tergolong aktif memajukan ide revisi UU Penyiaran, bahkan menyodorkan draft RUU yang baru, yaitu misalnya MPPI (Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia), lalu Asosiasi Televisi Siaran Indonesia (ATVSI), Forum Televisi Swasta (Media Indonesia 19 April 2000) DPR RI, PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga Nasional Indonesia), dan lain-lain. Selain itu ada juga kelompok lain yang mendorong penggantian UU Penyiaran ini seperti kelompok karyawan RRI (Kompas 10 Mei 2000) dan TVRI.

Usulan revisi UU Penyiaran ini pertama kali dilakukan oleh 26 anggota DPR dari delapan fraksi yang berbeda, mengusulkan hak inisiatif DPR untuk merevisi UU Penyiaran tahun 1997 tersebut pada bulan Juni 2000. Sejak saat itu, kemudian berbagai kelompok melakukan draft RUU baru menurut versi masing-masing. Kelompok televisi swasta membuat draft yang intinya hendak menyatakan bahwa televisi swasta harus independen dan pemerintah tidak perlu campur tangan seperti di masa lalu (Media Indonesia 27 Juni 2000). Kelompok MPPI mengklaim bahwa mereka telah menyiapkan revisi UU Penyiaran sejak bulan Maret 1999 (Suara Karya 9 Juni 2000).

Ada lima hal yang dipermasalahkan oleh berbagai kelompok ini atas draft RUU yang diusulkan oleh pihak DPR. Pertama, yang menyangkut soal kewenangan yang demikian besar dari kelembagaan yang disebut sebagai KPI (Komisi Penyiaran Indonesia, sebagai ganti dari konsep BP3N dari UU yang lama). Banyak kelompok menduga bahwa KPI bisa menjadi kelembagaan yang demikian berkuasa dan menjadi representasi dari kekuasaan negara kembali. Oleh karena itu berbagai kelompok mati-matian berusaha menolak gagasan peran dominan negara dalam revisi UU ini. Kedua, adalah yang menyangkut soal kepemilikan silang media. Dalam RUU versi DPR disebutkan bahwa kepemilikan silang media, adalah hal yang terlarang. Ketiga adalah yang menyangkut soal pengaturan frekuensi. Ada perdebatan besar, apakah pengaturan frekuensi dilakukan oleh pemerintah ataupun KPI. Lalu Keempat adalah perdebatan soal kelembagaan yang diakui eksistensinya sebagai lembaga penyiaran. Kelima, RUU ini dianggap banyak memberikan ancaman dalam bentuk hukuman administrative hingga pidana kepada lembaga penyiaran yang tidak menaati berbagai peraturan tersebut. RUU ini hanya mengakui dua jenis lembaga penyiaran; yaitu lembaga penyiaran pemerintah dan swasta. Sementara itu lembaga penyiaran khusus atau komunitas, tidak diakui sebagai kelembagaan penyiaran.

Lima isu ini sekaligus akan menunjukkan betapa beragam kepentingan yang saling bertarung dalam perumusan UU yang baru, dimana di dalamnya ada kepentingan pemerintah untuk terus menjaga dominasi dan kontrolnya baik secara teknis maupun terhadap isi dari lembaga penyiaran tersebut (walau gagal dalam pelaksanaannya, karena secara resmi kelembagaan bernama Departemen Penerangan yang menjadi apparatus ideology dan ekonomi telah dibubarkan sejak akhir tahun 1999), kepentingan pemilik modal, kepentingan karyawan lembaga penyiaran negara, kepentingan kelompok masyarakat minoritas atau kelompok masyarakat tertentu, dan terakhir adalah kelompok yang mewakili konsumen media.

Di sini akan terlihat bahwa kepentingan untuk melindungi kepentingan masyarakat dari kepentingan modal mendapat tentangan keras dari kalangan pemodal sendiri, dan sebagian dari mereka berdalih bahwa pembatasan ruang gerak ‘dunia penyiaran’ (atau sebaiknya: dibaca industri atau kalangan pemodal di bidang penyiaran) adalah membatasi kebebasan pers, atau berdalih di balik ‘sinergi yang merupakan keharusan dalam industri media’. Kalangan pemodal dengan cerdik memanfaatkan momen peralihan kekuasaan ini dengan berkampanye menolak campur tangan yang besar dari pemerintah, namun di sisi lain sebenarnya mereka tidak sedang berkampanye soal kebebasan pers ataupun demokratisasi media, tetapi akses yang lebih luas bagi kepentingan modal yang mereka miliki dan akses yang lebih luas untuk penetrasi kapital ke berbagai wilayah di Indonesia lewat beragam jenis industri media yang kini berkembang.

Sebenarnya RUU versi DPR ini tidak ditolak oleh semua pihak. Kelompok yang menyebut dirinya mewakili konsumen dan media watch, menyatakan mendukung RUU milik DPR ini. Kelompok yang mendukung ini adalah; Media Watch and Consumer Center, Persatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, Media Ramah Keluarga, Barisan Perempuan Penyelamat Generasi dan Pusat Advokasi dan HAM. Sejumlah pendukung ini menyatakan bahwa RUU Penyiaran hasil DPR tersebut mendasari semangat keberpihakan pada kepentingan publik, mengedepankan pluralisme dan demokrasi, mendorong pembatasan peran pemerintah, sambil menegakkan kedaulatan nasional. (Kompas 24 Februari 2001)

Di bagian lain, salah satu pendukung RUU Penyiaran versi DPR ini, Ade Armando yang juga Direktur Media Watch and Consumer Center, sebuah kelompok pemerhati media yang berada di bawah organisasi The Habibie Center, mengemukakan bahwa RUU Penyiaran tersebut “dari perspektif kepentingan publik, telah dirancang secara serius dan mencerminkan pemahaman mendalam tentang permasalahan penyiaran”, dan jika RUU ini digolkan dan ketentuan-ketentuan di dalamnya dijalankan dengan konsisten, “kekhawatiran masyarakat tentang dampak negatif televisi dan radio akan bisa ditekan… misalnya … unsur kekerasan, cabul, perjudian, mempertentangkan SARA, memperolokkan dan merendahkan nilai agama serta martabat manusia … Tidak itu saja, stasiun televisi juga dilarang menyiarkan acara untuk orang dewasa pada jam anak-anak lazimnya menonton televisi”. (Republika 3 Maret 2001)

Kepentingan Modal atas Regulasi Penyiaran

Pada awal pembahasan revisi UU Penyiaran ini, fokus keberatan banyak pihak banyak tertuju pada soal peran dominan negara yang dikhawatirkan kembali lewat kelembagaan KPI. Sejumlah peran yang dibawakan oleh KPI sebagaimana disusun dalam draft UU Penyiaran versi DPR, mendapat banyak kritik dari berbagai kelompok, misalnya soal pemberian ijin penyiaran, otoritas untuk mencabut ijin penyiaran, posisi sebagai pembina dan pengontrol isi siaran.

Penolakan atas masalah kepemilikan silang baru mencuat ketika draft ini beredar di masyarakat dan segera saja berbagai kelompok ad hoc dibentuk dan merespon pembatasan yang direncanakan dalam UU yang akan datang tersebut. Sebagai reaksi, kemudian sejumlah kelompok industriawan penyiaran seperti ATVSI, dan Komteve menyiapkan draft RUU tandingan yang membela kepentingan televisi swasta. Mereka menginginkan bahwa televisi swasta menjadi independen dan tidak lagi dicampuri oleh intervensi pemerintah.

Yang mengherankan adalah posisi yang dibawakan oleh SPS yang kemudian membentuk kelompok kerja MPPI, yang tergolong berada paling depan dalam mengusulkan revisi UU Penyiaran ini. SPS yang di masa Orde Baru menjadi bagian dari alat represi politik Orde Baru, tiba-tiba saja menjelma menjadi pembela kebebasan pers paling depan. Ketuanya Leo Batubara, mengklaim bahwa MPPI telah memiliki rancangan revisi UU Penyiaran sejak bulan Maret 1999, saat di mana pembahasan masalah ini belum lagi dibicarakan secara publik. Lalu dalam berbagai forum lalu Leo Batubara menegasi seluruh peran negara dan menganggap pemerintah sebagai “penjajah” dan menganggap bahwa “musuh penyiaran adalah pemerintah, yang dalam hal ini adalah departemen perhubungan dan telekomunikasi”. Leo pun mengatakan bahwa perjuangan dalam merevisi UU Penyiaran ini adalah perjuangan demokrasi karena ia melihat konsep RUU Penyiaran versi DPR merupakan bagian dari belenggu baru pemerintah (Kompas 7 Oktober 2000, Suara Karya 21 & 22 September 2000).

Dalam kesempatan yang lain, Ketua PRSSNI, M. Taufik, menyebutkan bahwa RUU Penyiaran yang dibuat oleh DPR sebagai bentuk pengkhianatan atas agenda Reformasi, karena cenderung membatasi ruang gerak media elektronik dalam memberikan informasi kepada pemirsanya. (Kompas 13 Maret 2001)

MPPI misalnya dalam salah satu rilisnya menyatakan bahwa larangan kepemilikan silang yang diatur dalam RUU versi DPR menunjukkan anggota DPR kurang paham terhadap perkembangan konvergensi teknologi yang menjadi andalan media massa untuk bertahan hidup (Kompas 23 Februari 2001). Sementara itu Anton A. Nangoy, ketua ATVSI (Asosiasi Siaran Televisi Siaran Indonesia) mengemukakan ketakutan bahwa kepemilikan silang media tidak beralasan, karena monopoli dapat dicegah dengan membatasi penguasaan pasar.

SPS yang memback-up MPPI secara penuh lebih memperjelas posisi dan pendapatnya dalam perdebatan ini. Dalam salah satu terbitan internalnya, SPS mengemukakan pandangannya demikian:

Salah satu alibi yang mengemuka dari para penggagas RUU Penyiaran, khususnya anggota Pansus DPR RI ikhwal pencantuman pelarangan kepemilikan silang media massa, tak lain dimaksudkan untuk mencegah timbulnya pemusatan kekuatan media pada satu tangan pemilik modal tertentu. Jika pemusatan kepemilikan ini terjadi, dikhawatirkan akan memunculkan penciptaan monopoli informasi, dan ujungnya berakibat pada terjadinya monopoli kebenaran.

Sungguhkah sedemikian gawatnya implikasi kebenaran silang itu bakal berlangsung? Agaknya masih terlalu dini jika dikatakan tesis itu bakal terjadi sepenuhnya. Betapa tidak, jika untuk menciptakan monopoli informasi saja, misalnya, sudah merupakan pekerjaan yang luar biasa bagi media. Apalagi jika Cuma dua atau tiga media. Belum lagi, bila media-media tersebut bukan pemimpin pasar di kategori masing-masing…

Pada sisi lain yang sejajar, masyarakat dewasa ini telah menikmati apa yang sebelumnya sulit diperoleh selama masa rezim Orde Baru berkuasa – demokratisasi pilihan atas media. Ini tentu saja selaras dengan asas mekanisme pasar yang – dimanapun juga – selalu menguntit sukses dan keberhasilan bisnis sebuah media. Hanya media yang mampu mengakomodasi kebutuhan dan aspirasi masyarakat saja yang bisa bertahan di pasar. Itulah sebabnya, alih-alih menciptakan monopoli informasi, sebaliknya malah ditinggalkan konsumen lantaran pemberitaannya yang tak mau mengikuti selera pasar…

Sudah jelas bahwa argumentasi yang dikemukakan oleh pihak SPS mewakili kepentingan modal, karena hal yang berkait dengan masalah monopoli informasi – seberapa pun sumirnya klaim ini – tidak bisa mengingkari kondisi bahwa dengan perkembangan konglomerasi media, sebenarnya pilihan menjadi lebih sedikit dan cenderung menawarkan hal yang sama saja, menawarkan konsumerisme, tanpa membangkitkan daya kritis kepada masyarakat. Apakah itu monopoli ataupun oligopoly, keduanya cenderung membawa kondisi demikian dalam sajian medianya.

Dan argumen yang menyerahkan sepenuhnya kondisi yang ada kepada pasar, bukanlah suatu argumentasi yang juga mengesankan, karena itu mengasumsikan adanya suatu konsep pasar sebagai hal yang netral, yang menjadi wasit yang adil bagi perkembangan industri yang ada, padahal yang ada adalah pasar yang dibentuk oleh kelompok tertentu, dengan menyertakan aktor-aktor tertentu di dalamnya dan memiliki kepentingan-kepentingan tertentu pula.

Sementara itu anggota ATVSI yang lain, yaitu Surya Paloh, yang sekaligus pemilik stasiun Televisi Metro TV dan Koran Media Indonesia, balik bertanya, “Apa yang salah dengan kepemilikan silang seperti saya sekarang memilik Metro TV dan Media Indonesia. Dalam pasal itu nantinya saya bisa terkena pidana. Di masa globalisasi ini kita harus mengoptimalkan multimedia. Buat apa membuat RUU yang isinya mundur ke belakang. Mestinya membuat RUU untuk tujuan maju ke depan. Itu cara berpikir yang terbalik, tak sesuai edengan misi reformasi yang kita sedang dengung-dengungkan sekarang ini.” (Media Indonesia 23 Februari 2001)

Belakangan ATVSI mendesak Pansus DPR untuk menghapus pasal yang melarang kepemilikan silang media. Dalam rilis yang disebarkan, disebutkan alasan mereka bahwa jika kepemilikan silang dilarang, Indonesia akan diterobos oleh siaran dari luar dan dengan sendirinya akan kalah bersaing. Ketua ATVSI, Anton Nangoy, mengatakan bahwa jika larangan kepemilikan silang diberlakukan, maka akan menghambat industri pertelevisian di Indonesia. Ia menilai bahwa RUU yang dibuat oleh DPR penuh dengan kewajiban kepada industri penyiaran tanpa memberikan perlindungan yang memadai terhadap industri tersebut. Jika RUU ini diundangkan, akan memasung kebebasan pers. (Kompas 28 Februari 2001)

Keberatan lain juga dikemukakan oleh PPPI yaitu asosiasi perusahaan periklanan di Indonesia yang khawatir dengan banyak butir dalam RUU penyiaran yang mengancam kehidupan industri periklanan, karena misalnya di dalam RUU Penyiaran diharapkan asosiasi periklanan memperbaharui kode etik mereka setiap tiga tahun, dan pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan periklanan disamakan dengan hukum pidana. (Republika 3 Maret 2001)

Belakangan muncul argumentasi lain untuk menyerang RUU Penyiaran versi DPR ini dengan mengatakan bahwa RUU Penyiaran ini memberikan proteksi kepada produk dalam negeri, yang itu berarti melanggar perjanjian perdagangan Asia (AFTA) dan juga perjanjian perdagangan dunia (WTO). Indonesia bisa kena sanksi jika melakukan proteksi terhadap industri dalam negeri. (Media Indonesia 3 Maret 2001)

Kelompok-kelompok yang mengritik RUU Penyiaran versi DPR juga menggunakan argumentasi soal “kebebasan pers”, “pengkhianatan terhadap reformasi”, dan “sinergi dalam industri media” sebagai alasan mereka untuk menolak pelarangan kepemilikan silang dalam industri media. Sumber argumentasi tentang sinergi dalam industri media, rupanya berujung pada rekomendasi yang dikeluarkan oleh World Association of Newspaper (WAN) meeting di Brazil tahun 2000. Namun tak banyak kelompok mencoba mengejar lebih jauh argumentasi tersebut.

Misalnya saja dengan mengacu pada rekomendasi pertemuan di Brazil tersebut, ada tiga pertanyaan krusial yang bisa diajukan. Pertama, apakah status dari pertemuan World Association of Newspaper tersebut pada regulasi negara? Apakah status pertemuan WAN tersebut sama dan setingkat dengan pertemuan kelembagaan-kelembagaan UN (PBB) yang memiliki sifat mengikat dan juga memiliki sejumlah sanksi internasional jika suatu negara yang menjadi anggota UN tidak menjalankan rekomendasi yang ada. Kedua, artinya di sini, siapa yang “mewakili Indonesia”, adalah hal yang bisa diperdebatkan. Apakah kelembagaan yang mewakili Indonesia di forum WAN itu adalah negara? Ataukah asosiasi pengusaha penerbitan? Ataukah kelompok serikat buruh? Hal ini harus lebih dulu diperjelas. Ketiga, pun kalau ada rekomendasi soal sinergi dari WAN tentu saja wajar, karena bagaimana pun juga WAN adalah mewakili kepentingan industriawan atau kalangan pemodal dalam industri media. Dan tentu saja jika WAN memberikan rekomendasi demikian, tidak dengan sendirinya kelompok pekerja (buruh) dari industri media akan memberikan rekomendasi yang sama atas fenomena multimedia yang berkembang saat ini.

Implikasi RUU Penyiaran ini terhadap para pekerja industri media, belum banyak dikemukakan, yang lebih banyak muncul adalah argumentasi yang dikeluarkan oleh para pemilik media. Di sini menjadi penting untuk mengamati secara cermat, siapa bicara apa, karena bagaimanapun juga posisi struktural (dalam hal kepemilikan modal; antara pemilik modal dan kelompok pekerja) membedakan kepentingan yang dibawakannya. Apakah betul jika kepentingan pemilik media yang diakomodir, dengan sendirinya mengakomodir kepentingan para pekerja media? Ilustrasi tentang hal ini menjadi sangat jelas dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh SCTV terhadap Surya Paloh, pemilik Grup Media Indonesia, dengan Djoko Susilo, anggota DPR dari Komisi I, ketika Metro TV meluncurkan siaran pertamanya.

Dalam wawancara tersebut, Djoko Susilo menyerang posisi Surya yang ia katakan melakukan sinergi antara Metro TV dan Koran Media Indonesia, tapi apakah ia juga memperhatikan aspek ketenagakerjaannya di sini. “Apakah karyawan Media Indonesia yang anda gunakan juga untuk Metro TV diberi tambahan gaji atas kerjanya di dua tempat ini?” Begitu pertanyaan yang disampaikan oleh Djoko, yang juga bekas wartawan Jawa Pos Group. Surya sangat marah dengan pertanyaan itu dan terlihat gagap untuk menjawab serangan tadi. Akhirnya Surya hanya bisa berkata “Anda lihat … seorang anggota DPR, anggota Dewan hasil pemilihan umum di alam reformasi, tingkat dan cara berpikirnya, cara berbicaranya seperti itu … Saya sedih sekali, ketika anggota Dewan yang tingkat kualifikasi, cara berpikir, dan dimensi berpikirnya begitu amat naïf, terbatas.” (Hisyam 2001)

Di sini point utama tidak dibahas secara dalam, dan Surya tidak memiliki jawaban yang baik atas pertanyaan penting tadi, dan ini menunjukkan secara jelas, bagaimana kepentingan pemilik media tidak selalu sejalan oleh pekerja media, walaupun artikulasi persoalan ini jarang mengemuka di kalangan pekerja media sendiri.

Di sinilah letak dilemanya. Kekasaran yang dilakukan oleh Negara dalam mengontrol isi, kepemilikan dan mati hidupnya media, telah membuat banyak kalangan terlena dan trauma dengan besarnya kekuasaan negara, namun lupa bahwa kekuasaan modal memiliki kekuatan yang tak kalah dashyat, bahkan mungkin lebih dashyat daripada kekuasaan negara itu sendiri. Kekuasaan modal bisa berkolaborasi dengan jenis kekuasaan macam pun dan jenis kapitalis apapun.

Menentang intervensi negara dalam industri media adalah salah satu hal, namun memberikan fungsi baru kepada negara (dalam hal menjadi regulatory body) adalah hal yang lain lagi. Dan pada titik inilah juga persoalannya luput dibahas dalam perdebatan RUU Penyiaran itu. Ada tendensi yang sangat besar untuk seekstrim mungkin untuk menentang fungsi apapun dari negara, bahkan jika mungkin direduksi ke titik nol sekalipun. Padahal masalahnya bukan cuma soal intervensi negara dalam industri media, tapi juga mentransformasi peran baru dari negara, dari yang pengatur segalanya, menjadi pengatur untuk kepentingan publik. Kira-kira semacam peran yang dilakukan di negeri-negeri yang menganut system welfare state.

Dan yang patut dilihat secara cermat adalah kecerdikan kelompok pemodal untuk menutupi kepentingan ekspansi modal mereka dengan jargon-jargon yang seolah-olah membela kebebasan pers, membela akses masyarakat terhadap informasi, hingga membela proses reformasi dan demokratisasi.

Walau tidak banyak suara kritis yang menyoroti perdebatan dalam RUU Penyiaran namun ada pula beberapa pengamat yang menunjukkan sikap lebih dingin dari mereka-mereka yang menggebu-gebu ingin mengubah RUU Penyiaran versi DPR tersebut. Veven Sp Wardhana, seorang koordinator Media Watch di ISAI, dalam salah satu artikelnya menyoroti kepentingan tersembunyi di balik kepentingan modal yang marah-marah jika ekspansinya dibatasi. Veven menulis bahwa jangkauan siaran yang tak boleh melewati jumlah 50% dari seluruh wilayah Indonesia tak disukai oleh para pemodal karena akses yang terbatas tersebut tak menarik untuk para pengiklan yang biasanya menginginkan jangkauan iklan yang sangat luas. Lalu Veven pun menyoroti soal dibatasinya penyiaran tidak untuk komunitas tertentu, Veven curiga bahwa kepentingan modal khawatir jika makin banyak komunitas tertentu memiliki siaran tersendiri maka program mereka pun tak akan laku. Untuk itu kelompok pemodal pun setuju untuk membatasi penyelenggara siaran hanya bagi pihak pemerintah dan swasta saja. Komunitas tertentu tak diperbolehkan memiliki siaran sendiri. (Koran Tempo …)

Bagaimana mengontrol Modal?

Di sinilah dilema terbesar yang akan dihadapi oleh negara-negara yang mengalami situasi transisional, dimana kekuatan negara mulai terpecah atau bahkan diganti secara keseluruhan, namun di sisi lain kekuatan modal lebih fleksibel dalam menyesuaikan diri dengan situasi yang ada, dan bahkan dengan sangat mudah beradaptasi dengan kekuasaan baru, dan praktis kekuatan modal tidak memiliki jaringan birokrasi yang seluas birokrasi negara, yang memudahkan kekuatan modal untuk mengontrolnya, apakah mereka akan bisa berjalan bersama dengan pemerintahan baru, ataukah mereka akan mencari tempat lain dimana kekuatan negara bisa bekerjasama dengannya.

Dalam situasi globalisasi, hal ini menjadi sangat dimungkinkan, dimana pergerakan capital menjadi sangat mudah dan khusus dalam situasi seperti di Indonesia, ada kelompok pengusaha yang diuntungkan dengan situasi yang berubah dan ada pula pengusaha yang tidak diuntungkan. Industri media termasuk salah satu yang mengalami keberuntungan dengan perubahan situasi ini karena dengan deregulasi dan liberalisasi yang terjadi dalam sector media, maka mereka segera menjadi kapitalis-kapitalis baru atau semakin memperkuat posisi mereka untuk tumbuh di Indonesia.

Jika dalam situasi transisional jaman Orde Reformasi ini, maka Negara bukan lagi satu-satu penentu kebijakan ekonomi politik dan social di negeri ini, dan mereka walaupun masih memiliki kewenangan dalam pengaturan kebijakan, mau tak mau harus berbagi kekuasaan dengan pihak-pihak lain, apakah itu kelompok masyarakat sipil, militer ataupun kalangan pengusaha. Dan di sinilah konteks yang penting ketika bicara soal perdebatan RUU Penyiaran yang ada saat ini.

Di satu sisi memang hal tentang monopoli informasi adalah hal yang masih banyak diperdebatkan, namun memiliki 100 buah penerbitan di 30 buah propinsi di Indonesia, bukanlah pertanda yang sehat untuk perkembangan industri media yang lebih beragam dan membuka pilihan yang lebih baca kepada konsumen.

Kelompok media besar pun cenderung bungkam atas isu ini, dan perdebatan soal kepemilikan silang ini nyaris luput dari perhatian, dan energi banyak dihabiskan untuk membahas situasi dilematis dari KPI. Kelompok Kompas misalnya, cenderung diam terhadap isu kepemilikan silang ini namun di sisi lain, tahu-tahu Kompas mengumumkan bahwa mereka meluncurkan televisi swasta baru, TV 7.

Persoalan modal memang merupakan persoalan yang cukup pelik, karena hal ini cenderung diabaikan dalam berbagai literatur soal demokrasi. Problem demokrasi lebih banyak berurusan dengan kondisi represif negara terhadap warganya dan berbagai usaha untuk mendobrak dominasi tersebut. Namun apa yang terjadi dengan perkembangan modal dan bagaimana ia pun menelikung berbagai problem lain, jarang diberikan perhatian secara proporsional.

Kasus yang ditunjukkan di atas barulah bicara dalam tataran kepentingan modal ‘lokal’ dan belum lagi bicara dalam konteks modal ‘global’ yang masuk dalam industri media di Indonesia, dengan segala sifatnya yang tidak mengenal batas wilayah, capital yang sangat mobile, dan juga capital yang bisa mempengaruhi factor-faktor kehidupan dalam masyarakat, seperti ekonomi, politik, budaya dan lain-lain.

Masih banyak hal yang perlu dipelajari untuk mengenal karakter modal dan bagaimana dilematisnya posisi soal modal dalam industri media ini, terutama dalam situasi masyarakat post-authoritarian (atau kondisi yang akan kembali menjadi authoritarian?). Setidaknya kasus ini hendak memberikan suatu ilustrasi bahwa problem kebebasan pers, bukan semata-mata bagaimana ia bisa bernegosiasi dengan kekuasaan negara yang represif, tapi juga ia harus berhadapan dengan kepentingan pemilik modal, karena bagaimana pun juga industri media lain dengan industri-industri lainnya, berurusan dengan soal pembentukan citra yang dimediasi lewat media-media yang ada. Lalu implikasinya kepada para pekerja media, pada kehidupan masyarakat luas dan lain-lain, masih harus diselidiki lebih jauh. Di sini mungkin kita perlu belajar dari pengalaman-pengalaman negara lain ketika menghadapi problem serupa, bagaimana kemudian bentuk respon yang dilakukan. Dan terakhir, bagaimana pun juga, konfigurasi politik dari pemerintahan transisional ini juga juga perlu dipertimbangkan untuk memahami secara spesifik problem yang dihadapi ini, suatu masyarakat yang baru lepas dari situasi authoritarian, mengalami kebebasan dalam waktu sejenak, namun bisa jadi akan kembali terjebak dalam situasi yang lama. (*)

)* Wakil direktur eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan,
LSPP, Jakarta.


SELECTED BIBLIOGRAPHY


Street, John (1992), Politics and Technology, London: Mac Millan

Coronel, Sheila S. (1998) “Media Ownership and control in the Philippines”, Media Development, no.4

Hidayat, Dedy Nur (2000), “Pers dalam Kontradiksi Kapitalisme Orde Baru”, dalam Dedy Nur Hidayat et.al, Pers dalam ‘Revolusi Mei’: Runtuhnya Sebuah Hegemoni, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Ariel Heryanto & Stanley Yoseph Adi, “Industrialised Media in Democratising Indonesia”, paper delivered at ISEAS seminar 2001

Dhakidae, Daniel (1991) The State, The Rise of Capital and the Fall of Political Journalism: A Political Economy of Indonesian News Industry, thesis doctoral dari Cornell University, tidak dipublikasikan.

Kitley, Philip (2001), Rekonstruksi Budaya Bangsa di Layar Kaca (judul asli: Television, Nation and Culture), Jakarta: Institut Studi Arus Informasi & Lembaga Studi Pers dan Pembangunan.

Sen, Krishna & Hill, David T. (2000) Media, Culture, and Politics in Indonesia, Oxford University Press.

Hisyam, Usamah (2001)

Ishwara, Helen (2001)

Mengapa Televisi Komunitas

Mengapa Televisi Komunitas

oleh Budhi Hermanto )*


Kemunculan televisi komunitas di Indonesia sebagai salah satu bentuk media komunitas, tidak terlepas dari situasi politik pasca tumbangnya orde baru. Seiring dengan era keterbukaan pasca tumbangnya Soeharto tersebut, dinamika media mengalami perubahan setelah bertahun-tahun terpasung dalam kebijakan politik rezim. Pada masa Orde Baru, media hidup dibawah kondisi politik yang monopolistik dan represif. Eksistensi media sebagai institusi sosial direduksi menjadi instrumen politik rezim. Akibatnya fungsi media sebagai kontrol sosial tidak dijalankan dengan baik.

Menurut Dennis Mc Quail (Mc Quail, 1996:82), situasi kehidupan media yang hidup dibawah tekanan penguasa menunjukan bahwa keberadaan dan kadar kekuasaan media dalam masyarakat ditandai oleh luasnya jangkauan, keterpencilan institusi, isolasi individu, dan kurangnya integrasi masyarakat setempat, sehingga menunjukan bahwa media dapat dikendalikan atau dikelola secara monopolistik untuk dijadikan sebagai alat utama efektif dalam mengorganisasi massa, seperti khalayak, konsumen, pasar dan pemilih. Media massa biasanya merupakan corong penguasa, pemberi pendapat dan instruksi serta kepuasan jiwani.

Sebelum iklim keterbukaan media di Indonesia terjadi, media dikontrol sangat ketat oleh pemerintah. Selama bertahun-tahun hanya ada 1 (satu) siaran televisi yakni Televisi Republik Indonesia (TVRI) sebagai stasiun milik pemerintah. Baru pada tahun 1990-an muncul media televisi nasional, yakni RCTI dan TPI, yang ternyata kedua media televisi swasta tersebut dimiliki anak dan kerabat rezim yang berkuasa waktu itu. Proses diseminasi informasi berjalan timpang, karena bersifat sentralistik, top-down. Pemirsa televisi dipaksa untuk menerima segala informasi yang disiarkan media televisi. Tidak jarang, hegimoni pemerintah berkuasa terhadap rakyat melalui televisi dilakukan atas nama stabilitas nasional. Semua hal yang dilakukan pemerintah menjadi benar, tidak ada ruang untuk mengkritisi kebijakan negara melalui media televisi.

Setelah reformasi bergulir seiring kebijakan politik yang terjadi, media bertumbuhan bak cendawan di musim hujan. Departemen Penerangan pada era kepemimpinan Habibie telah memberikan ijin prinsip bagi 5 (lima) stasiun TV baru di Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Penerangan No 286/SK/Menpen/1999, sehingga akhirnya khalayak pemirsa TV di Indonesia tersuguhi berbagai tayangan dari 10 (sepuluh) stasiun TV swasta komersial dan 1 (satu) stasiun TV publik (TVRI), menyusul dikemudian hari berbagai layanan TV berbayar (kabel).

Pesatnya pertumbuhan televisi di Indonesia dengan hadirnya berbagai tayangan dilayar kaca, ternyata juga menyisakkan sejumlah persoalan. Berbagai analisa dampak siaran televisi menunjukan adanya permasalahan yang cukup rumit. Kekerasan, seksualitas, dan berbagai tayangan ditelevisi yang jauh dari realitas social , dikritik oleh berbagai pihak karena dianggap menjadi penyebab berbagai kemerosotan moral dan kemanusiaan. Perilaku kekerasan, hedonisme, konsumerisme, dan hilangnya insting kemanusiaan tumbuh dan bekembang. Itu merupakan cermin perubahan nilai yang mulai bergeser.. Hal tersebut memang tak terhindari, ketika televisi menjadi media dominan, bukan saja bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif. Media menyuguhkan nilai-nilai dan penilaian normatif yang dibaurkan dengan berita dan hiburan. (Mc Quail, 1996:3).

Menilik pada persoalan tersebut, munculah kesadaran untuk mendorong tumbuhnya media lain sebagai alternatif oleh para penggiat lembaga swadaya masyarakat yang berbasis media atau civitas akademika yang concern pada upaya pendidikan melek media (media literasi). Media alternatif ini dikenal dengan sebutan media komunitas, yang salah satunya berupa televisi komunitas.

Grabag TV misalnya, televisi komunitas ini dipelopori oleh penggiat media komunitas yang kebetulan juga berprofesi dosen di FFT IKJ bernama Hartanto. Menurut dia, tv komunitas di Grabag, Magelang berfungsi tidak hanya bermanfaat memberikan akses informasi yang langsung bersentuhan dengan kehidupan sehari-hari, namun juga media aktualisasi warga dalam pengembangan seni-budaya lokal, dan pendidikan.Beberapa program siaran yang ditayangkan melalui Grabag TV berisi tentang aktivitas kehidupan masyarakat sekitar, seni pertunjukan lokal, dan memberikan kesempatan pada siswa-siswa sekolah sekitar untuk berekspresi melalui tv komunitas.

Dalam sebuah diskursus tentang TV Komunitas yang difasilitasi Kelompok Kerja (Pokja) TV Komunitas Indonesia di Yogyakarta, muncul perdebatan tentang batasan komunitas. Sebagian penggiat tv komunitas mengatakan bahwa, batasan komunitas adalah pendekatan geografis (wilayah) sesuai dengan satu aturan perijinan pendirian lembaga penyiaran komunitas mensyaratkan adanya dukungan 250 warga dewasa yang berdomisili di sekitar stasiun tv komunitas. Sementara bagi penggiat tv komunitas yang berbasis sekolah/kampus memiliki cara pandang yang berbeda. Kedua perbedaan pendapat ini mengkerucut pada satu kesamaan visi, dimana tv komunitas sebagai media alternatif harus berperan dalam memberdayakan komunitasnya. Baik itu berbasis sekolah/kampus atau warga, kesemuanya memiliki tanggungjawab sosial pada komunitasnya. Dimana, warga tidak hanya menjadi “penonton” tayangan televisi, namun juga berperan sebagai subyek atau pelaku tv komunitas itu sendiri.

Maka salah satu ciri dari tv komunitas sebagai lembaga penyiaran komunitas adalah keberadaan lembaga penyiaran ini dari, oleh dan untuk komunitasnya. Istilah lain adalah sebagai media partisipatif yang mensyaratkan keterlibatan komunitas didalamnya. Semakin banyak keterlibatan warga dalam lembaga penyiaran komunitas (diversity of ownership), akan mendorong adanya keberagaman isi siaran (diversity of content) yang semakin baik.

Kebaradaaan tv komunitas jika terkait dengan regulasi pemerintah, saat ini belum menggembirakan. Implementasi UU Penyiaran No 32 tahun 2003 banyak ditentang, khususnya oleh kalangan industri penyiaran (televisi komersial) karena dianggap menghambat ‘bisnis” para konglomerat media di Indonesia karena harus berjaringan, larangan monopoli dan berbagai aturan peralihan yang diangap bisa menghambat laju bisnis mereka.

Sementara bagi kalangan masyarakat sipil pro-demokrasi, UU Penyiaran merupakan keniscayaan agar demokratisasi dalam bidang penyiaran terwujud seiring semangat reformasi. Media penyiaran merupakan alat kontrol masyarakat yang cukup efektif. Media juga mampu menampilkan citra buatan mengenai realitas sosial. (Malik, 1997:15). Dimana sifat media yang bisa mempengaruhi persepsi, sikap, dan perilaku massa. Sehingga kepemlikan (ownership) atas media sebaiknya diatur dan ada mekanisme kontrol terhadapnya. Karena dikhawatirkan, kepemilikan yang monopoli oleh kalangan pebisnis terhadap media penyiaran , akan menjadikan media itu sebagai katup pengaman bisnisnya dari kritikan masyarakat. Beberapa fenomena sosial, misalnya kasus lumpur lapindo di Pasuruan Jawa Timur, membuktikan hal itu. Salah satu televisi swasta di Indonesia sangat jarang memberitakan soal Lapindo, dan bahkan tidak pernah menyebut kata “Brantas”, karena dianggap terlalu “dekat” dengan induk perusahaan tempat stasiun televisi tersebut bernaung.

Salah satu semangat dalam UU Penyiaran No 32 Tahun 2002, adalah desentralisasi penyiaran, dimana memberikan kesempatan pada masyarakat di daerah untuk mendirikan lembaga penyiaran yang sesuai dengan watak, adat, budaya, dan tatanan nilai/norma setempat. Undang-undang ini juga memberikan celah bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam bidang penyiaran. Pendek kata, masyarakat diberi ruang untuk tidak lagi menjadi obyek penyiaran, namun bisa berperan dalam mewarnai dunia penyiaran. Salah satu point penting bagi masyarakat adalah ketersediaan aturan mengenai media penyiaran bagi mereka. Menurut UU Penyiaran No 32 Tahun 2003, tersebutlah keberadaaan Lembaga Penyiaran Komunitas (TV dan Radio Komunitas), bersanding dengan 3 (tiga) lembaga lain yakni Lembaga Penyiaran Publik (RRI dan TVRI), Lembaga Penyiaran Swasta (radio & TV Swasta) serta Lembaga Penyiaran Berlangganan.

Karut-marut regulasi penyiaran di Indonesia semakin panjang, setelah silang sengketa antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Demkominfo, tentang pembagian kewenangan dan diberlakukannya beberapa peraturan pemerintah yang dianggap bertolak belakang dengan semangat dalam UU Penyiaran tersebut diatas.

Kemunculan televisi komunitas, sesungguhnya merupakan tonggak sejarah baru dalam dunia penyiaran di Indonesia. Media komunitas hadir sebagai wujud pendidikan literasi media, setelah pada masa sebelumnya (Orde Baru dan pasca Reformasi) masyarakat terpinggirkan dalam penggunaan ranah publik (frekuensi). Jika pada masa orde baru, masyarakat hanya mampu menjadi penonton dan obyek sasaran penanaman ideologi politik otoritarinisme, yang menjauhkan masyarakat dari nilai keberagaman dan demokratisasi, disusul kemudian menjadi obyek sasaran bisnis yang mendorong masyarakat berperilaku konsumtif oleh media-media penyiaran swasta setelah reformasi, saatnya masyarakat mengambil peran dalam media penyiaran sebagai subyek yang memilah, memilih, dan mengontrol siaran yang sesuai dengan kebutuhan dan budaya setempat.
TV komunitas diharapkan menjawab ketimpangan yang terjadi sekarang. Dimana perkembangan media seharusnya diikuti oleh tuntutan kepada media untuk memiliki suatu tanggungjawab sosial. Kebebasan yang dimiliki media perlu disertai tanggungjawab sosial dan dan kecenderungan berorientasi pada kepentingan umum, baik secara individual maupun kelompok. (Wibowo, 1997: 58).

Karena itulah, televisi komunitas harus sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sosial masyarakat setempat. Media komunitas ini diharapkan juga mampu merangsang dialog sebagai bagian dari proses demokrasi dan kontrol sosial, selain memberikan akses kearifan bagi budaya lokal. TV komunitas hadir sebagai media pemberdayaan bagi warga sekitar. Ia memberikan pemahaman dan kesadaran pada masyarakat tentang hak untuk mendapatkan informasi yang sesuai dengan kebutuhan warga, hiburan yang mendidik, mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, perekat sosial hingga penghargaan terhadap kebudayaan serta kearifan lokal yang dimiliki masyarakat setempat.

Melalui televisi komunitas, khalayak pemisa TV bukan hanya menjadi obyek sasaran siaran televisi, melainkan juga sebagai subyek dan terlibat dalam program siaran televisi komunitas. Khalayak pemirsa menentukan isi siaran yang sesuai dengan kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya setempat. Pendek kata, kedaulatan media komunitas berada ditangan khalayaknya. Jika selama ini khalayak pemirsa tv hanya mampu menjadi penonton, melalui tv komunitas mereka berkesempatan untuk berekspresi, memberikan nilai dan penghargaan pada entitas local, sekaligus menilai, menganalisis, dan memilah informasi dan hiburan yang disajikan oleh televisi komunitas.

)* Anggota Kelompok Kerja (Pokja) Televisi Komunitas Indonesia, saat ini bekerja pada Combine Resource Institution

Daftar Bacaan :
1.MC Quail, Denis, Teori Komunikasi Massa, erlangga, Jakarta 1996.
2.Malik, Dedy Jamaluddin, Jurnalisme Islam dan Ukhuwah Islamiyah, Bentang, Yogakarta, 1997.
3.Wibowo, Fred, Dasar-Dasar Produksi Program Televisi, Gramedia, Jakarta 1997.
4.Berita Kompas 30/5/2007, TV Komunitas Bebaskan Ketertinggalan Informasi.
5.Undang-undang Penyiaran No 32 Tahun 2003.
6.Peraturan Pemerintah No 51 Tentang Lembaga Penyiaran Komunitas Tahun 2005.