3/12/2008

Citicen Journalist

Wartawan Bodrek vs Citizen Journalist
Oleh : Muhibuddin

05-Mar-2008, 22:09:59 WIB - [www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia - Begitu mudahnya sekarang menjadi wartawan. Asal ada kemauan, saat itu juga bisa menyandang profesi wartawan. Apalagi, jika punya kesanggupan berburu berita yang bisa memasok ‘gizi' ke media yang menaunginya. Tak usah menunggu waktu, orang awam pun segera dibikinkan kartu pers untuk modal peliputan berita. Simpel sekali prosedurnya, bukan?

Tapi, tunggu dulu. Tak sembarang media pers segampang itu merekrut wartawan. Media-media besar dan mapan, umumnya sudah menerapkan standar profesional dalam rekruitmen wartawan. Bahkan dalam komunitas media pers kategori ini, untuk menjadi wartawan profesional prosedurnya justru tak kalah ketat dengan seleksi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), misalnya.

Dari gambaran di atas, bisa dimaklumi kalau kemudian dalam dunia pers muncul perbedaan wartawan ke dalam tipologi ‘wartawan beneran' dan ‘wartawan bodrek'. Yang disebut terakhir, tak lain adalah orang-orang yang masuk ke habitat pers tapi sepak terjang jurnalistiknya justru banyak mencemari dunia pers itu sendiri.

Jurnalisme Kartu Pers

Keberadaan wartawan bodrek memang tak bisa dipandang sebelah mata. Sebab, faktanya, mereka juga berkalung kartu pers sebagai bukti fisik identitas diri seorang wartawan. Soal, apakah mereka produktif dalam menghasilkan karya jurnalistik atau tidak, itu menjadi urusan lain. Karena itulah, dari perspektif ini, rasanya sulit mencari alasan untuk tidak mengkategorikan mereka ke dalam komunitas wartawan.

Bondan Winarno pernah mengatakan, dari segi penampilan, tidak ada perbedaan nyata antara wartawan bodrek dengan wartawan beneran. Sebagai wartawan, wawasan mereka memang dangkal, karena tujuan utamanya memang semata bukan untuk kepentingan jurnalistik. Tetapi, tidak jarang dari mereka punya daya intuisi dan investigasi yang tajam (Republika, Minggu 22/5/2005).

Dalam menjalankan misi jurnalistiknya, wartawan bodrek biasanya berlindung di balik kartu pers resmi dari medianya maupun dari beragam organisasi profesi kewartawanan. Karenanya, mereka akhirnya lebih mengedepankan ideologi ‘jurnalisme kartu pers' ketimbang mengaktualisaikan jargon-jargon ideal jurnalism yang menjadi ruh dari media pers.

Di panggung pers nasional, ironi wartawan bodrek sebenarnya bukan cerita baru. Bukankah dari dulu sudah muncul sindiran adanya wartawan tanpa surat kabar (WTS) yang ulahnya seringkali mencemari intitusi pers? Hanya saja, kalau kini keberadaan wartawan bodrek kian menuai sorotan, itu barangkali karena jumlah ‘pasukan' mereka memang kian menjamur.

Diakui atau tidak, wartawan bodrek semakin bertambah subur seiring bergulirnya liberalisasi pers pasca reformasi 1998. Sejak itu, kontrol birokrasi terhadap keberadaan media pers begitu longgar. Dengan demikian, sebuah media pers bisa meluncur begitu saja tanpa harus lewat prosedur yang rumit. Berbarengan dengan itu, siapa pun seolah juga bisa masuk dalam komunitas pers. Siapa pun juga bisa membikin media sekalipun tanpa ditopang sumber dana dan sumberdaya manusia yang punya concern terhadap idealisme pers.

Konsekuensinya, bermunculanlah ‘wartawan karbitan' yang kinerja jurnalistiknya kadang jauh dari cita-cita ideal pers itu sendiri. Jangan heran kalau kemudian muncul media pers yang merekrut jajaran redaksi hingga wartawan secara serampangan. Kartu pers yang seharusnya diterbitkan secara ketat dan selektif, akhirnya ‘diobral' untuk membekali ‘pasukan' yang melakukan tugas jurnalistik di lapangan.

Jadilah, kartu pers menjadi segala-galanya. Status profesi wartawan, akhirnya cukup dilihat dan diukur dari parameter kepemilikan kartu pers. Dalam konteks ini, produktifitas karya jurnalistik menjadi tak begitu urgen. Salah-salah, wartawan yang produktif membuat karya jurnalistik justru dicap sebagai ‘wartawan liar' hanya karena mereka tak berkalung kartu pers.

Padahal, banyak di antara wartawan bodrek berkalung kartu pers yang sesungguhnya produktifitas karya jurnalistiknya masih layak dipertanyakan. Sebaliknya, mereka justru lebih memilih memanfaatkan kartu pers yang dikantonginya untuk kepentingan di luar tugas jurnalistik. Misalnya, kartu pers difungsikan sebagai kartu truf untuk melakukan tindak pemerasan dengan dalih memuat atau tidak memuat sebuah berita. Praktek kotor ala wartawan bodrek agaknya masih menjadi fenomena kelam dalam dunia pers nasional. Itulah sebabnya, kini media-media cetak maupun elektronik terang-terangan mengkomunikasikan ke khalayak bahwa wartawannya ‘diharamkan' menerima sesuatu pemberian dari nara sumber.

Tentu, persoalannya, terlalu naif jika nantinya institusi pers harus kehilangan kepercayaan publik hanya gara-gara merebaknya praktek-praktek kotor sebagaimana yang lazim dimainkan wartawan bodrek.

Citizen Journalist

Kini, jurnalisme era baru tiba. Berita di koran, majalah, radio, maupun televisi, tak lagi milik dan monopoli wartawan. Melalui citizen journalism (jurnalisme warga) yang menjadi genre baru dunia pers, siapapun bisa menjadi wartawan. Sekalipun tak berkalung kartu pers, pewarta warga ini mampu melakukan reportase, investigasi, menulis berita dan menerbitkannya melalui media-media berbasis citizen journalism.

Di dunia maya, citizen journalism sudah jauh berkembang sedemikian pesat. Banyak portal yang kini mengandalkan sajian tulisan, news dan foto-foto dari hasil reportase pewarta warga (citizen journalist).

Selain sebagai pensuplai tulisan, sekaligus, para pewarta warga ini juga berperan menjadi pembaca setia media-media berbasis citizen journalism itu.

Media berbasis warga yang dikelola secara profesional, kenyatannya juga tak kalah gengsi dengan ‘media konvensional' . Sebut saja, situs berbasis citizen journalism yang bermarkas di Seoul Korea Selatan, OhmyNews.com.

Dengan mengandalkan pewarta warga, situs ini telah berkembang pesat dengan 60.000 reporter warga yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Situs berita dan informasi ini dibaca tak kurang sekitar 750.000 pengguna setiap harinya (Pikiran Rakyat, 9/2/2007).

Di Indonesia, citizen journalism juga sudah bermunculan. Sebut saja, situs KabarIndonesia.com yang bermarkas di Netherland, Belanda. Dalam kurun waktu sekitar 15 bulan terakhir, situs yang popular dengan sebutan Harian Online KabarIndonesia (HOKI) itu telah mempunyai sekitar 3.000 reporter warga. Mereka itulah yang selama ini menjadi pensuplai tulisan sekaligus juga jadi pembacanya.

Yang menarik lagi, dalam penerbitan edisi cetak, koran-koran terkemuka nasional kini juga mulai merintis rubrik yang diperuntukkan bagi para citizen journalist. Itu artinya, keberadaan pewarta warga ke depan bisa bertambah menggurita. Nah, jika praktek citizen journalism sudah melembaga, jangan heran seandainya kelak banyak orang tak berkalung kartu pers, tapi mereka bisa menghasilkan karya-karya jurnalistik.

Ini akan berbanding terbalik dengan fenomena ‘wartawan bodrek' yang berkalung kartu pers, tapi mereka miskin karya jurnalistik.

Dalam catatan Nasihin Masha, citizen journalism lahir sebagai sebuah perlawanan. Yakni, perlawanan terhadap hegemoni dalam merumuskan dan memaknai kebenaran. Perlawanan terhadap dominasi informasi oleh elite masyarakat. Akhirnya, perlawanan terhadap tatanan peradaban yang makin impersonal (Republika, Rabu, 7/11/2007).

Tak salah memang. Sebab, media pers yang sering disebut-sebut sebagai pilar keempat demokrasi (fourth estate) setelah eksekutif, yudikatif dan legislatif, realitasnya kadang menampakkan wajah yang jauh dari publik yang jadi penopangnya. Ketika pers sudah melembaga di bawah naungan para pemilik modal, bukan tidak mungkin pers kehilangan ‘daya jotos' dalam menyuarakan aspirasi yang berpihak pada kepentingan publik.

Karena itulah, munculnya citizen journalism menjadi urgen untuk membangkitkan kembali ghiroh pers sebagai penyambung lidah publik yang kadang kerap menjadi korban hegemoni kekuasaan. Sebab, betapapun, merebaknya komunitas citizen journalism adalah sebuah fenomena yang tak bisa dipandang sebelah mata.

3/11/2008

Perjuangan Bagi Radio Komunitas Belum Usai

Perjuangan Bagi Radio Komunitas Belum Usai
Oleh Budhi Hermanto *

Carut-marut dunia penyiaran tak kunjung berakhir, persoalan ini muncul sejak diwacanakannya Undang-undang penyiaran pada tahun 2000-an. Pro dan kontra bermunculan, saling dukung dan sikut antar pemerintah, swasta maupun kalangan masyarakat sipil. Pemerintah berkepentingan mengontrol penyiaran untuk menjaga “stabilitas” politik, juga mengamankan diseminasi informasi kebijakan pemerintah. Bagi industri penyiaran, regulasi penyiaran tidak merusak kepentingan “bisnis” dalam bidang penyiaran. Sedangkan bagi kelompok masyarakat sipil mendorong demokratisasi dunia penyiaran bisa terwujud.

Pergumulan itu semakin menajam dengan disahkannya UU Penyiaran No 32 Tahun 2003, yang kemudian berbuntut pada judicial review terhadap UU tersebut. Hasilnya, regulasi tetap ditangan pemerintah, bukan pada regulator independen seperti yang diharapkan oleh kalangan masyarakat sipil yakni Komisi Penyiaran Indonesia.

Mengiringi disahkannya UU Penyiaran tersebut, Menteri Perhubungan sebagai pejabat yang berwenang mengatur regulasi frekuensi waktu itu menerbitkan Keputusan Menteri No 15 Tahun 2003 tentang Rencana Induk (master plan) Frekuensi Radio Penyelenggaraaan Telekomunikasi Khusus Untuk Siaran Radio FM (Frequency Modulation).

Dalam amar putusannya, Menteri Perhubungan mengklasifikasi keberadaan stasiun radio dalam beberapa kelas. Salah satunya tentang radio komunitas, digolongkan dalam kelas D dengan ERP 50 W, dengan wilayah layanan maksimum 2,5 km dari lokasi stasiun pemancar (KM 15 Pasal 3).

Pemberian kelas pada radio komunitas ini, juga terkesan setengah hati. Dalam pasal 4 KM 15 disebutkan Radio siaran kelas D sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) diperuntukan bagi radio siaran komunitas sepanjang secara teknis memungkinkan. Kalimat “…sepanjang secara teknis memungkinkan” menyiratkan keengganan pemerintah memberikan frekuensi ranah publik kepada masyarakat. Pasal ini dikhawatirkan juga menghambat keberadaan radio komunitas yang dinilai pada saat pengurusan ijin nantinya, tidak memenuhi standar teknis yang disyaratkan.

Dibandingkan dengan lembaga penyiaran lainnya yakni lembaga penyiaran swasta maupun publik, pengklasifikasian ini dinilai oleh kalangan penggiat lembaga penyiaran komunitas (LPK) jauh dari rasa keadilan. Radio swasta/public (RRI) boleh menggunakan daya hingga 63 kW, sementara radio komunitas hanya “50 watt”, perbandingan yang sangat jauh bak bumi dengan langit.

Persoalan lain yang muncul adalah, pembagian alokasi frekuensi (kanal) yang juga tidak berpihak pada keberadaan radio komunitas. Oleh pemerintah, radio komunitas hanya bisa menempati kanal yang telah ditentukan, yakni kanal 201, 202 dan 203 atau 107,7 Mhz, 107,8 Mhz dan 107,9 Mhz. Dibanding alokasi frekuensi bagi lembaga penyiaran swasta maupun publik, alokasi frekuensi ini juga jauh dari rasa keadilan. Radio komunitas hanya diberi 3 “kamar” itupun berada dipinggiran.

KM Menhub No 15 Thn 2003 sekarang telah lebih dikuatkan melalui Peraturan Pemerintah No 51 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Komunitas. Jika dulu, KM 15 diterbitkan oleh Departemen Perhubungan, kelahiran PP 51 Th 2005 didorong oleh Depkominfo sebagai departemen yang berwenang pada soal regulasi frekuensi radio.

Isu Strategis

Dalam melakukan kerja advokasi, tidak terlepas dari agenda/isu yang diusung. Wacana terkait dengan penyiaran banyak sekali isu yang diangkat, sebagaimana dulu ketika banyak aktivis penyiaran melakukan advokasi terhadap UU Penyiaran maupun pengkritisan terhadap usulan PP Penyiaran.

Namun kali ini, agenda advokasi perlu difokuskan. Usulan perubahan dalam KM 15 dan juga PP 51 yang perlu diperjuangkan cukup terkait dengan hal teknis bagi lembaga penyiaran komunitas. Advokasi baiknya difokuskan pada; 1) alokasi frekuensi, 2) klasifikasi radio komunitas dan layanan jangkauan siaran serta, 3) standarisasi peralatan bagi radio komunitas.

Aspek lainnya tentu juga penting untuk diperjuangkan, misalnya soal aksi sweaping terhadap keberadan rakom, proses penindakan hokum yang tidak trasparan (kasus Papua), prosedur perijinan dll. Usulan ini hanya besifat skala prioritas. Karena jika ia bisa diperjuangan cukup membantu keberadaan radio komunitas yang kian berjamuran tumbuh seantero negeri ini. Setidaknya radio komunitas mendapatkan hak yang layak pada soal alokasi frekuensi dan daya jangkau siaran.

Strategi

Terkait dengan uraian di atas, perlu kiranya para aktivis lembaga penyiaran komunitas (khususnya radio) segera melakukan kajian mendalam secara kritis-analisis terhadap KM Menteri Perhubungan No 15 tahun 2003 khususnya pada aspek teknis dan alokasi frekuensi dan mendorong pemerintah untuk merubah Keputusan Menteri

Perhubungan No 15 Thn 2005 dan juga PP No 51 Tahun 2005. Hasil yang diharapkan dari proses ini adalah naskah akademik hasil analisa kajian terhadap KM Menhub No 15 Thn 2003 dan PP 51 Thn 2005. Selain tentu draft usulan perubahan KM dan PP tersebut.

Para penggiat radio komunitas, perlu memetakan pihak-pihak yang bisa membantu memperkuat “naskah akademik” yang disusun. Misalnya kalangan kampus/lembaga pendidikan, lembaga riset dan kalangan organisasi masyarakat sipil (NGO) maupun Komisi Penyiaran Indonesia. Kepada mereka, diharapkan bisa memberikan kontribusi bagi perubahan KM 15 maupun PP 51.

Langkah berikutnya yang tak kalah penting adalah melakukan dialog dan loby tehadap kalangan pemerintah (Depkominfo dan DPR) dan menyampaikan usulan perubahan atas regulasi penyiaran tersebut. Proses ini harus dikawal dengan ketat, termonitor dan kemudian disampaikan pada para pihak yang membantu proses advokasi, agar semua pihak tahu dan ikut membantu jalannya proses advokasi yang sedang dilakukan. Persoalan bahwa, apakah nantinya pemerintah benar-benar mau merubah regulasi itu atau tidak, itu soal kemudian. Setidaknya perjuangan ini belum terhenti.


)* Koordinator Jaringan Radio Komunitas Jawa Tengah