3/11/2008

Demokrasi Media

Demokrasi Media
Ignatius Haryanto *)

Pengantar

Indonesia di bawah kepemimpinan Suharto dan Orde Baru adalah kisah represi politik terhadap industri media yang terus berlangsung sejak awal masa Orde Baru hingga pada hari-hari terakhir kekuasaan Orde Baru. Lebih dari tujuh puluh suratkabar dan majalah pernah mengalami masa pembredelan dalam 33 tahun kepemimpinan Orde Baru dan selama masa itu pun, hampir lebih dari 20 tahun masa Orde Baru, televisi dikuasai oleh Negara, dan radio pun mengalami pembatasan untuk tidak boleh menyiarkan berita sendiri. Mereka hanya boleh menyiarkan berita yang telah dibuat oleh stasiun Radio milik negara (Sen & Hill, 2001)

Faktor modal baru menjadi cukup signifikan dalam industri media di Indonesia ketika pada pertengahan tahun 1980-an, muncul beberapa kelompok industri media yang perlahan-lahan membangun kerajaannya untuk menguasai seluruh Indonesia seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada masa Orde Baru. Ada beberapa penjelasan structural untuk itu, misalnya sejak ditutupnya iklan di televisi (Kitley 2001, Dhakidae 1991) maka limpahan iklan tersebut dinikmati oleh industri media cetak, dan memungkinkan mereka mendapatkan pendapatan yang cukup besar. Di luar itu membesarnya kerajaan media seperti Kompas, Tempo, Media Indonesia dan Jawa Pos, juga dikarenakan misalnya Kompas menyiapkan strategi untuk bersiap-siap jikalau Kompas dibredel oleh pemerintah (Ishwara 2001, Dhakidae 1991), atau Media Indonesia mengembangkan kerajaannya ke daerah-daerah karena hendak membantu perkembangan pers daerah (Hisyam 2001), sementara itu Jawa Pos berkembang makin membesar dan memiliki lebih dari 100 suratkabar sampai akhir tahun 2001 (lihat terbitan khusus Koran Kita dalam Jawa Pos edisi 1 Januari 2000)

Namun setelah akhir 1980-an muncul deregulasi yang memberi peluang atas munculnya industri televisi swasta, maka kue iklan yang selama ini dinikmati oleh industri media cetak, perlahan-lahan direbut oleh industri televisi sehingga perimbangannya menjadi bergeser. Dan pada saat sama, industri radio pun mulai menjadi media yang menarik, karena ia bukan lagi semata-mata hiburan, tapi juga media informasi.

Apa yang hendak ditunjukkan dalam paper ini adalah, bahwa kontrol ketat negara yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru, perlahan-lahan dilawan oleh kekuatan modal, dan hal ini menjadi paradoks terutama karena kekuatan modal yang tadinya selektif hanya diberikan kepada kelompok kroni Orde Baru, perlahan-lahan justru menggerus wibawa yang dipertahankan oleh Orde Baru (Hidayat 2000). Televisi dan radio swasta perlahan-lahan menjadi berani untuk menampilkan acara yang kritis terhadap pemerintah. Beberapa acara televisi kemudian sempat dilarang siaran kembali, seperti kasus acara Perspektif yang dipimpin oleh Wimar Witoelar. Perspektif disiarkan lewat stasiun televisi SCTV, yang dimiliki oleh ipar Soeharto, stasiun televisi swasta kedua di Indonesia.

Benih dari pertikaian antara kekuasaan Negara dan kekuasaan modal sebenarnya bisa juga dilihat tarik ulur yang terjadi di kalangan birokrasi, hanya beberapa minggu sebelum terjadinya pembredelan tiga mingguan di Jakarta, Tempo, Detik dan Editor. Hanya beberapa minggu sebelum terjadinya pembredelan, pihak menteri negara investasi dan menteri penerangan bersilang pendapat soal investasi asing dalam industri media di Indonesia. Sebagai bagian dari program deregulasi sejumlah kebijakan investasi, maka pemerintah mengajukan sejumlah sektor baru yang dibuka untuk investasi asing, dan kementerian investasi memasukkan industri media massa sebagai salah satu tujuan yang bisa dimasuki investasi asing. Belum lagi keputusan itu dijalankan, langsung muncul reaksi keras dari menteri penerangan yang menolak masuknya modal asing dalam industri media. Alasan yang digunakan saat itu adalah soal nasionalisme ekonomi, dan idealisme pers. Namun sesungguhnya alasan ini hanyalah sekedar untuk menutupi alasan sesungguhnya bahwa jika investasi asing masuk dalam sektor media massa, maka pemerintah akan kehilangan kontrolnya yang paling besar terhadap isi (content) dari industri media tersebut, suatu privilege yang berpuluh tahun mereka miliki untuk mengontrol kehidupan industri media di Indonesia.

Kekuatan modal pada tahun-tahun terakhir kekuasaan Orde Baru menunjuk pada situasi dimana industri media di Indonesia ada dalam tarik menarik keras antara Istana dan Pasar (Palace and Market) karena pada dasarnya bentuk pemerintahan Orde Baru adalah pemerintahan yang kapitalis represif (Hidayat 2000), yaitu kapitalisme dalam industri media yang dilakukan secara selektif, sembari tetap mengontrol isi dari media karena isi media sangat berpengaruh terhadap pembentukan citra Negara.

Segera setelah kekuatan modal terbentuk, perlahan-lahan kewibawaan Negara mulai runtuh dan kekuatan baru yang mengontrol industri media adalah kekuatan modal. Dan menjadi makin jelas, ketika masa transisi politik, negara menunjukkan sikap untuk melonggarkan kontrol terhadap media, dan melakukan sejumlah deregulasi dalam bidang media cetak, radio, dan televisi yang dilakukan oleh Menteri Yunus Yosfiah. Segera setelah deregulasi dilakukan, maka ratusan hingga ribuan surat ijin dikeluarkan, padahal pada masa sebelumnya jumlah penerbitan di seluruh Indonesia hanya mencapai 300 buah. Radio swasta kini diperbolehkan memproduksi siaran beritanya sendiri, terlepas dari kewajiban untuk relai kepada Radio Republik Indonesia (RRI), dan Menteri Yosfiah pun memberikan ijin siaran kepada sejumlah televisi swasta lain. Hasilnya pada akhir tahun 2001, ada 9 stasiun televisi swasta, dan juga sejumlah televisi yang bersiaran dalam skop yang lebih terbatas.

Bahkan Menteri yang sama pun memberlakukan UU Pers yang baru (disahkan sebagai UU no.40/1999) menggantikan UU Pers sebelumnya (yaitu UU no. 21/1982). Berbeda dengan UU Pers yang lama, UU yang baru memberikan jaminan yang lebih besar atas kebebasan pers, seperti ketentuan yang tidak mengharuskan adanya Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), tidak mengenal adanya pencabutan SIUPP, dan mengijinkan masuknya modal asing dalam industri media. Bahkan Menteri ini pun memecah monopoli organisasi kewartawanan yang selama ini dilakukan oleh PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan mengakui sejumlah organisasi kewartawanan lain seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan kelompok-kelompok lainnya. Lebih maju lagi, Menteri ini bahkan menyarankan agar Departemen Penerangan, yang selama ini menjadi aparat ideology, ekonomi dan politik negara (istilah Dhakidae), dibubarkan saja.

Dan benar, pada pembentukan kabinet di bawah presiden Abdurrachman Wahid, Departemen Penerangan dibubarkan. Presiden Wahid kala itu mengatakan bahwa urusan komunikasi dalam masyarakat biarlah ditentukan oleh masyarakat sendiri, tidak oleh pemerintah. Sejak masa itu maka Negara kelihatan tidak lagi mengekang industri media, setidaknya untuk sementara ini. Sejumlah kalangan, terutama dari kalangan industriawan media, kelompok professional wartawan dan para pekerja media, merasa lega bahwa mereka berhasil menumpulkan pedang Democles yang selama ini dimiliki oleh Departemen Penerangan. Tiga puluh tahun di bawah bayang-bayang ketakutan, akhirnya bisa sirna.

Kondisi ini membuat kontrol negara mencapai titik terendah, atau seperti yang dikemukakan oleh Ariel Heryanto dan Stanley, negara ada dalam situasi :

The state has clearly lost once and for all the old paternalistic and monopolistic control of the mass production and mass circulation of words and images across the nation. While the state continues to retain some power in regulation and licencing, it has to share, negotiate, and compete with new forces in calling the shots in mass media developments. (garis miring dari penulis)

Dalam kondisi yang baru, memang negara lalu harus melakukan negosiasi dengan kelompok-kelompok baru untuk bisa melakukan pengaturan kebijakan dan pemberian ijin. Kekuatan negara menjadi sangat lemah jika dibandingkan pada masa Orde Baru dimana negara menjadi penentu mati hidupnya industri media.

Dalam era yang sedang berubah tersebut muncul banyak fenomena baru dalam industri media di Indonesia, misalnya kemunculan sejumlah franchise media yang beredar dalam pasar media cetak - hal yang terlarang di masa Orde Baru – sejumlah kelompok media memperluas jaringan media mereka ke daerah-daerah, muncul suratkabar dan majalah baru, dan lain-lain.

Dalam situasi yang penuh kebebasan seperti ini, pengaturan masalah penyiaran dilakukan. UU Penyiaran disahkan pada tahun 1997 dengan memberikan waktu selama lima tahun untuk pelaksanaannya. Namun belum sampai lima tahun UU Penyiaran berlaku efektif, namun UU ini segera diusulkan untuk direvisi. Alasan utama yang berkembang saat itu adalah UU Penyiaran adalah produk Orde Baru sehingga harus diganti, karena sejumlah paradigma yang ada justru mengekang media. Dapat juga ditambahkan di sini bahwa setelah para kelompok advokasi media berhasil menggolkan pengesahan UU Pers yang lebih liberal, ada muncul semacam perasaan bahwa perluasan kebebasan pers juga bisa diterapkan dalam konteks industri penyiaran.

Di sini akan dipersoalkan, untuk siapa sesungguhnya perjuangan untuk revisi UU Penyiaran itu dilakukan? Apakah betul untuk kepentingan masyarakat, ataukah untuk kepentingan ekpansi modal? Lalu bagaimana peran yang harusnya dilakukan pemerintah dalam situasi yang berubah ini? Lalu bagaimana harus melindungi kepentingan masyarakat dalam berhadapan dengan kepentingan modal?


Table kepemilikan media oleh grup Jawa Pos, Kompas, Media Indonesia

Nama Grup Media Jumlah penerbitan dan media lain sebelum 1998 Jumlah penerbitan dan media lain sesudah 1998 (perhitungan tahun 2001) 1 Jawa Pos Group 107 suratkabar, tabloid, perusahaan percetakan, stasiun televisi 2 Kompas Gramedia Group 50 suratkabar, majalah, tabloid, hotel, percetakan, 5 penerbit buku, distributor, jaringan toko buku, dll. 3 Media Indonesia Group 4 suratkabar, stasiun televisi, hotel, percetakan Sumber: Laporan tahunan AJI/LSPP 1995 dan 2001


UU Penyiaran: Siapa yang berkepentingan dan apa kepentingannya?(whose interests and what interests?

UU Penyiaran yang pertama telah disahkan pada akhir September 1997. Ketika itu UU Penyiaran masih berada dalam masa pemerintahan Presiden Soeharto. Namun belum sempat Undang-undang ini berlaku efektif (membutuhkan waktu 2 tahun untuk membuatnya efektif berjalan), pemerintahan Soeharto keburu jatuh dan kemudian banyak tuntutan agar UU Penyiaran direvisi.

Ada banyak masalah yang mendapat tanggapan dari kalangan media terhadap UU Penyiaran pertama tersebut, di antaranya adalah peran dominan negara dalam menentukan arah kebijakan penyiaran di Indonesia, belum lagi dengan peran yang diberikan kepada penyiaran agar bisa “menumbuhkan dan mengembangkan sikap mental masyarakat Indonesia yang beriman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun masyarakat adil dan makmur” (pasal 4 UU Penyiaran 1997).

Selain itu penyiaran diharapkan untuk bisa “penyaluran pendapat umum yang konstruktif”, lalu “meningkatkan budaya bangsa”, “meningkatkan kemampuan perekonomian nasional untuk mewujudkan pemerataan dan memperkuat daya saing”, serta “meningkatkan stabilitas nasional yang mantap dan dinamis”. Seluruh jargon yang dikemukakan di sini adalah inti dari strategi kebudayaan, ekonomi dan politik dimana Orde Baru mengabdi padanya. Tentu saja kebijakan macam inilah yang ditujukan tak hanya pada industri penyiaran tapi juga industri media cetak yang telah lebih dulu mengalami berbagai represi.

Peran dominan negara juga di sini ditunjukkan lewat konsep kelembagaan bernama Badan Pertimbangan dan Pengendalian Penyiaran Nasional (BP3N) yang merupakan “lembaga nonstructural yang merupakan wadah kerjasama sebagai wujud interaksi positif antara penyelenggara penyiaran, pemerintah dan masyarakat dalam membina pertumbuhan dan perkembangan penyiaran nasional” (pasal 1).

Soal kepemilikan silang dalam industri media, sudah diatur dalam UU Penyiaran 1997 ini lewat peraturan bahwa: “Pemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta, baik yang mengarah pada pemusatan di satu orang atau di satu badan hokum maupun yang mengarah pada pemusatan di satu tempat atau di satu wilayah, dilarang.” (pasal 13 ayat 1) Selain juga diatur bahwa “Kepemilikan silang antara Lembaga Penyiaran Swasta dengan perusahaan media cetak dan antara Lembaga Penyiaran Swasta dengan Lembaga Penyiaran Khusus, baik langsung maupun tidak langsung, dibatasi.” (pasal 13 ayat 2).

Sebelum UU ini berlaku efektif, kemudian pergantian kekuasaan membuat UU ini menjadi mandul. Dalam masa pemerintahan Habibie (Mei 1998 - Oktober 1999) UU Penyiaran ini tak banyak disinggung-singgung. Baru setelah para penyokong kebebasan pers berhasil mendesak pemerintah untuk memberikan jaminan atas kebebasan pers, maka diskusi tentang nasib UU Penyiaran mulai kembali diperhatikan. Ketika UU ini disahkan pada tahun 1997, nyaris tak ada perlawanan yang besar dari kalangan industri media, karena Negara masih mendominasi kegiatan industri media, lewat perijinan, sensor dan alat represi lain. Namun setelah melihat bahwa Pers bisa menghasilkan UU yang lebih liberal, maka sejumlah pejuang kebebasan pers berharap situasi yang sama akan juga terjadi dalam UU Penyiaran yang mendatang.

Sejak saat itu barulah terjadi usaha-usaha untuk merevisi UU Penyiaran, terutama karena posisi dominan Negara hendak dipatahkan, dan lebih memberikan jaminan atas kebebasan menjalankan aktivitasnya.

Namun justru dalam situasi yang transisi ini maka ada banyak kepentingan yang saling berjalin di situ dan perlu kehati-hatian dalam menangkap berbagai kepentingan yang saling bekerjasama di dalamnya. Dalam kasus revisi UU Penyiaran ini, akan terlihat berbagai interests yang saling berbeda, ingin mempengaruhi munculnya UU Penyiaran yang baru, mulai dari kepentingan yang hendak melindungi kepentingan publik dari siaran televisi, kepentingan yang membela ide kebebasan pers, kepentingan dari kalangan pengusaha media, dan kepentingan yang hendak mempertahankan dominasi negara dalam pengaturan soal penyiaran. Namun anehnya, kepentingan yang mencoba untuk bersikap kritis terhadap kepentingan modal tak banyak mencuat, bahkan ada kesan bahwa kekuatan kapital atau modal dianggap bisa menandingi kekuatan negara, dan dengan demikian kekuatan modal bisa bertindak secara lebih demokratis. Dalam kenyataannya tidak otomatis kekuatan modal akan bertindak lebih demokratis dan akan memberikan perlindungan kepada kepentingan konsumen atau masyarakat luas, ataupun membela kepentingan buruh dalam industri media itu sendiri. Namun rupanya dua hal ini dilupakan oleh banyak pihak ketika membahas soal revisi UU Penyiaran tersebut.

Ada beberapa kelompok yang tergolong aktif memajukan ide revisi UU Penyiaran, bahkan menyodorkan draft RUU yang baru, yaitu misalnya MPPI (Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia), lalu Asosiasi Televisi Siaran Indonesia (ATVSI), Forum Televisi Swasta (Media Indonesia 19 April 2000) DPR RI, PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga Nasional Indonesia), dan lain-lain. Selain itu ada juga kelompok lain yang mendorong penggantian UU Penyiaran ini seperti kelompok karyawan RRI (Kompas 10 Mei 2000) dan TVRI.

Usulan revisi UU Penyiaran ini pertama kali dilakukan oleh 26 anggota DPR dari delapan fraksi yang berbeda, mengusulkan hak inisiatif DPR untuk merevisi UU Penyiaran tahun 1997 tersebut pada bulan Juni 2000. Sejak saat itu, kemudian berbagai kelompok melakukan draft RUU baru menurut versi masing-masing. Kelompok televisi swasta membuat draft yang intinya hendak menyatakan bahwa televisi swasta harus independen dan pemerintah tidak perlu campur tangan seperti di masa lalu (Media Indonesia 27 Juni 2000). Kelompok MPPI mengklaim bahwa mereka telah menyiapkan revisi UU Penyiaran sejak bulan Maret 1999 (Suara Karya 9 Juni 2000).

Ada lima hal yang dipermasalahkan oleh berbagai kelompok ini atas draft RUU yang diusulkan oleh pihak DPR. Pertama, yang menyangkut soal kewenangan yang demikian besar dari kelembagaan yang disebut sebagai KPI (Komisi Penyiaran Indonesia, sebagai ganti dari konsep BP3N dari UU yang lama). Banyak kelompok menduga bahwa KPI bisa menjadi kelembagaan yang demikian berkuasa dan menjadi representasi dari kekuasaan negara kembali. Oleh karena itu berbagai kelompok mati-matian berusaha menolak gagasan peran dominan negara dalam revisi UU ini. Kedua, adalah yang menyangkut soal kepemilikan silang media. Dalam RUU versi DPR disebutkan bahwa kepemilikan silang media, adalah hal yang terlarang. Ketiga adalah yang menyangkut soal pengaturan frekuensi. Ada perdebatan besar, apakah pengaturan frekuensi dilakukan oleh pemerintah ataupun KPI. Lalu Keempat adalah perdebatan soal kelembagaan yang diakui eksistensinya sebagai lembaga penyiaran. Kelima, RUU ini dianggap banyak memberikan ancaman dalam bentuk hukuman administrative hingga pidana kepada lembaga penyiaran yang tidak menaati berbagai peraturan tersebut. RUU ini hanya mengakui dua jenis lembaga penyiaran; yaitu lembaga penyiaran pemerintah dan swasta. Sementara itu lembaga penyiaran khusus atau komunitas, tidak diakui sebagai kelembagaan penyiaran.

Lima isu ini sekaligus akan menunjukkan betapa beragam kepentingan yang saling bertarung dalam perumusan UU yang baru, dimana di dalamnya ada kepentingan pemerintah untuk terus menjaga dominasi dan kontrolnya baik secara teknis maupun terhadap isi dari lembaga penyiaran tersebut (walau gagal dalam pelaksanaannya, karena secara resmi kelembagaan bernama Departemen Penerangan yang menjadi apparatus ideology dan ekonomi telah dibubarkan sejak akhir tahun 1999), kepentingan pemilik modal, kepentingan karyawan lembaga penyiaran negara, kepentingan kelompok masyarakat minoritas atau kelompok masyarakat tertentu, dan terakhir adalah kelompok yang mewakili konsumen media.

Di sini akan terlihat bahwa kepentingan untuk melindungi kepentingan masyarakat dari kepentingan modal mendapat tentangan keras dari kalangan pemodal sendiri, dan sebagian dari mereka berdalih bahwa pembatasan ruang gerak ‘dunia penyiaran’ (atau sebaiknya: dibaca industri atau kalangan pemodal di bidang penyiaran) adalah membatasi kebebasan pers, atau berdalih di balik ‘sinergi yang merupakan keharusan dalam industri media’. Kalangan pemodal dengan cerdik memanfaatkan momen peralihan kekuasaan ini dengan berkampanye menolak campur tangan yang besar dari pemerintah, namun di sisi lain sebenarnya mereka tidak sedang berkampanye soal kebebasan pers ataupun demokratisasi media, tetapi akses yang lebih luas bagi kepentingan modal yang mereka miliki dan akses yang lebih luas untuk penetrasi kapital ke berbagai wilayah di Indonesia lewat beragam jenis industri media yang kini berkembang.

Sebenarnya RUU versi DPR ini tidak ditolak oleh semua pihak. Kelompok yang menyebut dirinya mewakili konsumen dan media watch, menyatakan mendukung RUU milik DPR ini. Kelompok yang mendukung ini adalah; Media Watch and Consumer Center, Persatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, Media Ramah Keluarga, Barisan Perempuan Penyelamat Generasi dan Pusat Advokasi dan HAM. Sejumlah pendukung ini menyatakan bahwa RUU Penyiaran hasil DPR tersebut mendasari semangat keberpihakan pada kepentingan publik, mengedepankan pluralisme dan demokrasi, mendorong pembatasan peran pemerintah, sambil menegakkan kedaulatan nasional. (Kompas 24 Februari 2001)

Di bagian lain, salah satu pendukung RUU Penyiaran versi DPR ini, Ade Armando yang juga Direktur Media Watch and Consumer Center, sebuah kelompok pemerhati media yang berada di bawah organisasi The Habibie Center, mengemukakan bahwa RUU Penyiaran tersebut “dari perspektif kepentingan publik, telah dirancang secara serius dan mencerminkan pemahaman mendalam tentang permasalahan penyiaran”, dan jika RUU ini digolkan dan ketentuan-ketentuan di dalamnya dijalankan dengan konsisten, “kekhawatiran masyarakat tentang dampak negatif televisi dan radio akan bisa ditekan… misalnya … unsur kekerasan, cabul, perjudian, mempertentangkan SARA, memperolokkan dan merendahkan nilai agama serta martabat manusia … Tidak itu saja, stasiun televisi juga dilarang menyiarkan acara untuk orang dewasa pada jam anak-anak lazimnya menonton televisi”. (Republika 3 Maret 2001)

Kepentingan Modal atas Regulasi Penyiaran

Pada awal pembahasan revisi UU Penyiaran ini, fokus keberatan banyak pihak banyak tertuju pada soal peran dominan negara yang dikhawatirkan kembali lewat kelembagaan KPI. Sejumlah peran yang dibawakan oleh KPI sebagaimana disusun dalam draft UU Penyiaran versi DPR, mendapat banyak kritik dari berbagai kelompok, misalnya soal pemberian ijin penyiaran, otoritas untuk mencabut ijin penyiaran, posisi sebagai pembina dan pengontrol isi siaran.

Penolakan atas masalah kepemilikan silang baru mencuat ketika draft ini beredar di masyarakat dan segera saja berbagai kelompok ad hoc dibentuk dan merespon pembatasan yang direncanakan dalam UU yang akan datang tersebut. Sebagai reaksi, kemudian sejumlah kelompok industriawan penyiaran seperti ATVSI, dan Komteve menyiapkan draft RUU tandingan yang membela kepentingan televisi swasta. Mereka menginginkan bahwa televisi swasta menjadi independen dan tidak lagi dicampuri oleh intervensi pemerintah.

Yang mengherankan adalah posisi yang dibawakan oleh SPS yang kemudian membentuk kelompok kerja MPPI, yang tergolong berada paling depan dalam mengusulkan revisi UU Penyiaran ini. SPS yang di masa Orde Baru menjadi bagian dari alat represi politik Orde Baru, tiba-tiba saja menjelma menjadi pembela kebebasan pers paling depan. Ketuanya Leo Batubara, mengklaim bahwa MPPI telah memiliki rancangan revisi UU Penyiaran sejak bulan Maret 1999, saat di mana pembahasan masalah ini belum lagi dibicarakan secara publik. Lalu dalam berbagai forum lalu Leo Batubara menegasi seluruh peran negara dan menganggap pemerintah sebagai “penjajah” dan menganggap bahwa “musuh penyiaran adalah pemerintah, yang dalam hal ini adalah departemen perhubungan dan telekomunikasi”. Leo pun mengatakan bahwa perjuangan dalam merevisi UU Penyiaran ini adalah perjuangan demokrasi karena ia melihat konsep RUU Penyiaran versi DPR merupakan bagian dari belenggu baru pemerintah (Kompas 7 Oktober 2000, Suara Karya 21 & 22 September 2000).

Dalam kesempatan yang lain, Ketua PRSSNI, M. Taufik, menyebutkan bahwa RUU Penyiaran yang dibuat oleh DPR sebagai bentuk pengkhianatan atas agenda Reformasi, karena cenderung membatasi ruang gerak media elektronik dalam memberikan informasi kepada pemirsanya. (Kompas 13 Maret 2001)

MPPI misalnya dalam salah satu rilisnya menyatakan bahwa larangan kepemilikan silang yang diatur dalam RUU versi DPR menunjukkan anggota DPR kurang paham terhadap perkembangan konvergensi teknologi yang menjadi andalan media massa untuk bertahan hidup (Kompas 23 Februari 2001). Sementara itu Anton A. Nangoy, ketua ATVSI (Asosiasi Siaran Televisi Siaran Indonesia) mengemukakan ketakutan bahwa kepemilikan silang media tidak beralasan, karena monopoli dapat dicegah dengan membatasi penguasaan pasar.

SPS yang memback-up MPPI secara penuh lebih memperjelas posisi dan pendapatnya dalam perdebatan ini. Dalam salah satu terbitan internalnya, SPS mengemukakan pandangannya demikian:

Salah satu alibi yang mengemuka dari para penggagas RUU Penyiaran, khususnya anggota Pansus DPR RI ikhwal pencantuman pelarangan kepemilikan silang media massa, tak lain dimaksudkan untuk mencegah timbulnya pemusatan kekuatan media pada satu tangan pemilik modal tertentu. Jika pemusatan kepemilikan ini terjadi, dikhawatirkan akan memunculkan penciptaan monopoli informasi, dan ujungnya berakibat pada terjadinya monopoli kebenaran.

Sungguhkah sedemikian gawatnya implikasi kebenaran silang itu bakal berlangsung? Agaknya masih terlalu dini jika dikatakan tesis itu bakal terjadi sepenuhnya. Betapa tidak, jika untuk menciptakan monopoli informasi saja, misalnya, sudah merupakan pekerjaan yang luar biasa bagi media. Apalagi jika Cuma dua atau tiga media. Belum lagi, bila media-media tersebut bukan pemimpin pasar di kategori masing-masing…

Pada sisi lain yang sejajar, masyarakat dewasa ini telah menikmati apa yang sebelumnya sulit diperoleh selama masa rezim Orde Baru berkuasa – demokratisasi pilihan atas media. Ini tentu saja selaras dengan asas mekanisme pasar yang – dimanapun juga – selalu menguntit sukses dan keberhasilan bisnis sebuah media. Hanya media yang mampu mengakomodasi kebutuhan dan aspirasi masyarakat saja yang bisa bertahan di pasar. Itulah sebabnya, alih-alih menciptakan monopoli informasi, sebaliknya malah ditinggalkan konsumen lantaran pemberitaannya yang tak mau mengikuti selera pasar…

Sudah jelas bahwa argumentasi yang dikemukakan oleh pihak SPS mewakili kepentingan modal, karena hal yang berkait dengan masalah monopoli informasi – seberapa pun sumirnya klaim ini – tidak bisa mengingkari kondisi bahwa dengan perkembangan konglomerasi media, sebenarnya pilihan menjadi lebih sedikit dan cenderung menawarkan hal yang sama saja, menawarkan konsumerisme, tanpa membangkitkan daya kritis kepada masyarakat. Apakah itu monopoli ataupun oligopoly, keduanya cenderung membawa kondisi demikian dalam sajian medianya.

Dan argumen yang menyerahkan sepenuhnya kondisi yang ada kepada pasar, bukanlah suatu argumentasi yang juga mengesankan, karena itu mengasumsikan adanya suatu konsep pasar sebagai hal yang netral, yang menjadi wasit yang adil bagi perkembangan industri yang ada, padahal yang ada adalah pasar yang dibentuk oleh kelompok tertentu, dengan menyertakan aktor-aktor tertentu di dalamnya dan memiliki kepentingan-kepentingan tertentu pula.

Sementara itu anggota ATVSI yang lain, yaitu Surya Paloh, yang sekaligus pemilik stasiun Televisi Metro TV dan Koran Media Indonesia, balik bertanya, “Apa yang salah dengan kepemilikan silang seperti saya sekarang memilik Metro TV dan Media Indonesia. Dalam pasal itu nantinya saya bisa terkena pidana. Di masa globalisasi ini kita harus mengoptimalkan multimedia. Buat apa membuat RUU yang isinya mundur ke belakang. Mestinya membuat RUU untuk tujuan maju ke depan. Itu cara berpikir yang terbalik, tak sesuai edengan misi reformasi yang kita sedang dengung-dengungkan sekarang ini.” (Media Indonesia 23 Februari 2001)

Belakangan ATVSI mendesak Pansus DPR untuk menghapus pasal yang melarang kepemilikan silang media. Dalam rilis yang disebarkan, disebutkan alasan mereka bahwa jika kepemilikan silang dilarang, Indonesia akan diterobos oleh siaran dari luar dan dengan sendirinya akan kalah bersaing. Ketua ATVSI, Anton Nangoy, mengatakan bahwa jika larangan kepemilikan silang diberlakukan, maka akan menghambat industri pertelevisian di Indonesia. Ia menilai bahwa RUU yang dibuat oleh DPR penuh dengan kewajiban kepada industri penyiaran tanpa memberikan perlindungan yang memadai terhadap industri tersebut. Jika RUU ini diundangkan, akan memasung kebebasan pers. (Kompas 28 Februari 2001)

Keberatan lain juga dikemukakan oleh PPPI yaitu asosiasi perusahaan periklanan di Indonesia yang khawatir dengan banyak butir dalam RUU penyiaran yang mengancam kehidupan industri periklanan, karena misalnya di dalam RUU Penyiaran diharapkan asosiasi periklanan memperbaharui kode etik mereka setiap tiga tahun, dan pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan periklanan disamakan dengan hukum pidana. (Republika 3 Maret 2001)

Belakangan muncul argumentasi lain untuk menyerang RUU Penyiaran versi DPR ini dengan mengatakan bahwa RUU Penyiaran ini memberikan proteksi kepada produk dalam negeri, yang itu berarti melanggar perjanjian perdagangan Asia (AFTA) dan juga perjanjian perdagangan dunia (WTO). Indonesia bisa kena sanksi jika melakukan proteksi terhadap industri dalam negeri. (Media Indonesia 3 Maret 2001)

Kelompok-kelompok yang mengritik RUU Penyiaran versi DPR juga menggunakan argumentasi soal “kebebasan pers”, “pengkhianatan terhadap reformasi”, dan “sinergi dalam industri media” sebagai alasan mereka untuk menolak pelarangan kepemilikan silang dalam industri media. Sumber argumentasi tentang sinergi dalam industri media, rupanya berujung pada rekomendasi yang dikeluarkan oleh World Association of Newspaper (WAN) meeting di Brazil tahun 2000. Namun tak banyak kelompok mencoba mengejar lebih jauh argumentasi tersebut.

Misalnya saja dengan mengacu pada rekomendasi pertemuan di Brazil tersebut, ada tiga pertanyaan krusial yang bisa diajukan. Pertama, apakah status dari pertemuan World Association of Newspaper tersebut pada regulasi negara? Apakah status pertemuan WAN tersebut sama dan setingkat dengan pertemuan kelembagaan-kelembagaan UN (PBB) yang memiliki sifat mengikat dan juga memiliki sejumlah sanksi internasional jika suatu negara yang menjadi anggota UN tidak menjalankan rekomendasi yang ada. Kedua, artinya di sini, siapa yang “mewakili Indonesia”, adalah hal yang bisa diperdebatkan. Apakah kelembagaan yang mewakili Indonesia di forum WAN itu adalah negara? Ataukah asosiasi pengusaha penerbitan? Ataukah kelompok serikat buruh? Hal ini harus lebih dulu diperjelas. Ketiga, pun kalau ada rekomendasi soal sinergi dari WAN tentu saja wajar, karena bagaimana pun juga WAN adalah mewakili kepentingan industriawan atau kalangan pemodal dalam industri media. Dan tentu saja jika WAN memberikan rekomendasi demikian, tidak dengan sendirinya kelompok pekerja (buruh) dari industri media akan memberikan rekomendasi yang sama atas fenomena multimedia yang berkembang saat ini.

Implikasi RUU Penyiaran ini terhadap para pekerja industri media, belum banyak dikemukakan, yang lebih banyak muncul adalah argumentasi yang dikeluarkan oleh para pemilik media. Di sini menjadi penting untuk mengamati secara cermat, siapa bicara apa, karena bagaimanapun juga posisi struktural (dalam hal kepemilikan modal; antara pemilik modal dan kelompok pekerja) membedakan kepentingan yang dibawakannya. Apakah betul jika kepentingan pemilik media yang diakomodir, dengan sendirinya mengakomodir kepentingan para pekerja media? Ilustrasi tentang hal ini menjadi sangat jelas dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh SCTV terhadap Surya Paloh, pemilik Grup Media Indonesia, dengan Djoko Susilo, anggota DPR dari Komisi I, ketika Metro TV meluncurkan siaran pertamanya.

Dalam wawancara tersebut, Djoko Susilo menyerang posisi Surya yang ia katakan melakukan sinergi antara Metro TV dan Koran Media Indonesia, tapi apakah ia juga memperhatikan aspek ketenagakerjaannya di sini. “Apakah karyawan Media Indonesia yang anda gunakan juga untuk Metro TV diberi tambahan gaji atas kerjanya di dua tempat ini?” Begitu pertanyaan yang disampaikan oleh Djoko, yang juga bekas wartawan Jawa Pos Group. Surya sangat marah dengan pertanyaan itu dan terlihat gagap untuk menjawab serangan tadi. Akhirnya Surya hanya bisa berkata “Anda lihat … seorang anggota DPR, anggota Dewan hasil pemilihan umum di alam reformasi, tingkat dan cara berpikirnya, cara berbicaranya seperti itu … Saya sedih sekali, ketika anggota Dewan yang tingkat kualifikasi, cara berpikir, dan dimensi berpikirnya begitu amat naïf, terbatas.” (Hisyam 2001)

Di sini point utama tidak dibahas secara dalam, dan Surya tidak memiliki jawaban yang baik atas pertanyaan penting tadi, dan ini menunjukkan secara jelas, bagaimana kepentingan pemilik media tidak selalu sejalan oleh pekerja media, walaupun artikulasi persoalan ini jarang mengemuka di kalangan pekerja media sendiri.

Di sinilah letak dilemanya. Kekasaran yang dilakukan oleh Negara dalam mengontrol isi, kepemilikan dan mati hidupnya media, telah membuat banyak kalangan terlena dan trauma dengan besarnya kekuasaan negara, namun lupa bahwa kekuasaan modal memiliki kekuatan yang tak kalah dashyat, bahkan mungkin lebih dashyat daripada kekuasaan negara itu sendiri. Kekuasaan modal bisa berkolaborasi dengan jenis kekuasaan macam pun dan jenis kapitalis apapun.

Menentang intervensi negara dalam industri media adalah salah satu hal, namun memberikan fungsi baru kepada negara (dalam hal menjadi regulatory body) adalah hal yang lain lagi. Dan pada titik inilah juga persoalannya luput dibahas dalam perdebatan RUU Penyiaran itu. Ada tendensi yang sangat besar untuk seekstrim mungkin untuk menentang fungsi apapun dari negara, bahkan jika mungkin direduksi ke titik nol sekalipun. Padahal masalahnya bukan cuma soal intervensi negara dalam industri media, tapi juga mentransformasi peran baru dari negara, dari yang pengatur segalanya, menjadi pengatur untuk kepentingan publik. Kira-kira semacam peran yang dilakukan di negeri-negeri yang menganut system welfare state.

Dan yang patut dilihat secara cermat adalah kecerdikan kelompok pemodal untuk menutupi kepentingan ekspansi modal mereka dengan jargon-jargon yang seolah-olah membela kebebasan pers, membela akses masyarakat terhadap informasi, hingga membela proses reformasi dan demokratisasi.

Walau tidak banyak suara kritis yang menyoroti perdebatan dalam RUU Penyiaran namun ada pula beberapa pengamat yang menunjukkan sikap lebih dingin dari mereka-mereka yang menggebu-gebu ingin mengubah RUU Penyiaran versi DPR tersebut. Veven Sp Wardhana, seorang koordinator Media Watch di ISAI, dalam salah satu artikelnya menyoroti kepentingan tersembunyi di balik kepentingan modal yang marah-marah jika ekspansinya dibatasi. Veven menulis bahwa jangkauan siaran yang tak boleh melewati jumlah 50% dari seluruh wilayah Indonesia tak disukai oleh para pemodal karena akses yang terbatas tersebut tak menarik untuk para pengiklan yang biasanya menginginkan jangkauan iklan yang sangat luas. Lalu Veven pun menyoroti soal dibatasinya penyiaran tidak untuk komunitas tertentu, Veven curiga bahwa kepentingan modal khawatir jika makin banyak komunitas tertentu memiliki siaran tersendiri maka program mereka pun tak akan laku. Untuk itu kelompok pemodal pun setuju untuk membatasi penyelenggara siaran hanya bagi pihak pemerintah dan swasta saja. Komunitas tertentu tak diperbolehkan memiliki siaran sendiri. (Koran Tempo …)

Bagaimana mengontrol Modal?

Di sinilah dilema terbesar yang akan dihadapi oleh negara-negara yang mengalami situasi transisional, dimana kekuatan negara mulai terpecah atau bahkan diganti secara keseluruhan, namun di sisi lain kekuatan modal lebih fleksibel dalam menyesuaikan diri dengan situasi yang ada, dan bahkan dengan sangat mudah beradaptasi dengan kekuasaan baru, dan praktis kekuatan modal tidak memiliki jaringan birokrasi yang seluas birokrasi negara, yang memudahkan kekuatan modal untuk mengontrolnya, apakah mereka akan bisa berjalan bersama dengan pemerintahan baru, ataukah mereka akan mencari tempat lain dimana kekuatan negara bisa bekerjasama dengannya.

Dalam situasi globalisasi, hal ini menjadi sangat dimungkinkan, dimana pergerakan capital menjadi sangat mudah dan khusus dalam situasi seperti di Indonesia, ada kelompok pengusaha yang diuntungkan dengan situasi yang berubah dan ada pula pengusaha yang tidak diuntungkan. Industri media termasuk salah satu yang mengalami keberuntungan dengan perubahan situasi ini karena dengan deregulasi dan liberalisasi yang terjadi dalam sector media, maka mereka segera menjadi kapitalis-kapitalis baru atau semakin memperkuat posisi mereka untuk tumbuh di Indonesia.

Jika dalam situasi transisional jaman Orde Reformasi ini, maka Negara bukan lagi satu-satu penentu kebijakan ekonomi politik dan social di negeri ini, dan mereka walaupun masih memiliki kewenangan dalam pengaturan kebijakan, mau tak mau harus berbagi kekuasaan dengan pihak-pihak lain, apakah itu kelompok masyarakat sipil, militer ataupun kalangan pengusaha. Dan di sinilah konteks yang penting ketika bicara soal perdebatan RUU Penyiaran yang ada saat ini.

Di satu sisi memang hal tentang monopoli informasi adalah hal yang masih banyak diperdebatkan, namun memiliki 100 buah penerbitan di 30 buah propinsi di Indonesia, bukanlah pertanda yang sehat untuk perkembangan industri media yang lebih beragam dan membuka pilihan yang lebih baca kepada konsumen.

Kelompok media besar pun cenderung bungkam atas isu ini, dan perdebatan soal kepemilikan silang ini nyaris luput dari perhatian, dan energi banyak dihabiskan untuk membahas situasi dilematis dari KPI. Kelompok Kompas misalnya, cenderung diam terhadap isu kepemilikan silang ini namun di sisi lain, tahu-tahu Kompas mengumumkan bahwa mereka meluncurkan televisi swasta baru, TV 7.

Persoalan modal memang merupakan persoalan yang cukup pelik, karena hal ini cenderung diabaikan dalam berbagai literatur soal demokrasi. Problem demokrasi lebih banyak berurusan dengan kondisi represif negara terhadap warganya dan berbagai usaha untuk mendobrak dominasi tersebut. Namun apa yang terjadi dengan perkembangan modal dan bagaimana ia pun menelikung berbagai problem lain, jarang diberikan perhatian secara proporsional.

Kasus yang ditunjukkan di atas barulah bicara dalam tataran kepentingan modal ‘lokal’ dan belum lagi bicara dalam konteks modal ‘global’ yang masuk dalam industri media di Indonesia, dengan segala sifatnya yang tidak mengenal batas wilayah, capital yang sangat mobile, dan juga capital yang bisa mempengaruhi factor-faktor kehidupan dalam masyarakat, seperti ekonomi, politik, budaya dan lain-lain.

Masih banyak hal yang perlu dipelajari untuk mengenal karakter modal dan bagaimana dilematisnya posisi soal modal dalam industri media ini, terutama dalam situasi masyarakat post-authoritarian (atau kondisi yang akan kembali menjadi authoritarian?). Setidaknya kasus ini hendak memberikan suatu ilustrasi bahwa problem kebebasan pers, bukan semata-mata bagaimana ia bisa bernegosiasi dengan kekuasaan negara yang represif, tapi juga ia harus berhadapan dengan kepentingan pemilik modal, karena bagaimana pun juga industri media lain dengan industri-industri lainnya, berurusan dengan soal pembentukan citra yang dimediasi lewat media-media yang ada. Lalu implikasinya kepada para pekerja media, pada kehidupan masyarakat luas dan lain-lain, masih harus diselidiki lebih jauh. Di sini mungkin kita perlu belajar dari pengalaman-pengalaman negara lain ketika menghadapi problem serupa, bagaimana kemudian bentuk respon yang dilakukan. Dan terakhir, bagaimana pun juga, konfigurasi politik dari pemerintahan transisional ini juga juga perlu dipertimbangkan untuk memahami secara spesifik problem yang dihadapi ini, suatu masyarakat yang baru lepas dari situasi authoritarian, mengalami kebebasan dalam waktu sejenak, namun bisa jadi akan kembali terjebak dalam situasi yang lama. (*)

)* Wakil direktur eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan,
LSPP, Jakarta.


SELECTED BIBLIOGRAPHY


Street, John (1992), Politics and Technology, London: Mac Millan

Coronel, Sheila S. (1998) “Media Ownership and control in the Philippines”, Media Development, no.4

Hidayat, Dedy Nur (2000), “Pers dalam Kontradiksi Kapitalisme Orde Baru”, dalam Dedy Nur Hidayat et.al, Pers dalam ‘Revolusi Mei’: Runtuhnya Sebuah Hegemoni, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Ariel Heryanto & Stanley Yoseph Adi, “Industrialised Media in Democratising Indonesia”, paper delivered at ISEAS seminar 2001

Dhakidae, Daniel (1991) The State, The Rise of Capital and the Fall of Political Journalism: A Political Economy of Indonesian News Industry, thesis doctoral dari Cornell University, tidak dipublikasikan.

Kitley, Philip (2001), Rekonstruksi Budaya Bangsa di Layar Kaca (judul asli: Television, Nation and Culture), Jakarta: Institut Studi Arus Informasi & Lembaga Studi Pers dan Pembangunan.

Sen, Krishna & Hill, David T. (2000) Media, Culture, and Politics in Indonesia, Oxford University Press.

Hisyam, Usamah (2001)

Ishwara, Helen (2001)

Tidak ada komentar: